12/26/2020

Langit Berwarna Hitam


Langit berwarna hitam. Sepertinya hujan segera turun. Hari ini Getar tidak kerja. Ia meminta bibik tinggal di rumah dan ia sendiri yang menjemput Sakti. Sepuluh menit yang lalu sekolahan bubar. Kini Getar duduk di bangku kayu depan sekolahan.

Sakti tengah bermain kejar-kejaran dengan seorang anak gadis yang rambutnya dikuncir ekor kuda. Sakti gantian mengejar setelah bahunya berhasil disentuh oleh anak gadis itu. Mereka terus seperti itu. Berlarian. Bergantian menjadi pengejar dan dikejar. Getar tersenyum getir. Tingkah mereka seperti gambaran dirinya bersama Aluna di masa kecil.

Getar kecil suka sekali mengganggu Aluna yang sedang menggambar menggunakan cat cair.

”Ekor kuda…, Ekor kuda…,”

Setelah berhasil menarik rambut Aluna yang dikuncir ekor kuda, Getar menjulurkan lidah dan menempelkan kedua tangannya di telinga. Mengejek. Aluna marah. Gambar langit berwarna hitam yang hampir selesai ditinggalkan begitu saja. Lantas mengejar Getar yang lari ke taman belakang. Mereka kejar-kejaran hingga membuat pot tanaman mama bergeser dari tempatnya.

Mama marah mengetahui nasib pot tak di tempatnya. Sebagai hukuman, mereka harus membetulkan letak pot-pot itu, sekalian mencabuti rumput yang tumbuh. Setelah satu jam, mama memanggil mereka. Menyuruh cuci tangan dan masuk. Rupanya mama telah menyiapkan puding coklat susu saus vla vanila kesukaan mereka. Mama tidak benar-benar marah. Hukuman itu hanya pelajaran agar setelah dewasa nanti mereka bisa menjadi orang yang bertanggung jawab.

Tidak Aluna maupun Getar, mama akan memberi sangsi jika mereka bandel. Mama memperlakukan kedua anak seumuran itu tanpa pilih kasih. Meski bukan anaknya, mama menyayangi Aluna seperti sayangnya pada Getar. Aluna sering menginap dan tidur bersama mama jika ayahnya bertugas ke luar kota. Di rumahnya tak ada siapa-siapa. Ibu Aluna meninggal ketika melahirkan anak perempuan cerdas itu.

**
Dua puluh empat tahun usianya. Aluna sudah besar. Gadis itu tidak cantik, hanya sangat manis dengan lesung di kedua pipinya. Aluna juga mandiri dan pemberani. Tak lagi takut di rumah sendirian jika ayahnya pergi ke luar kota.

Bakat menggambar yang dimiliki sejak kecil mengantarkannya menjadi pelukis yang namanya diperbincangkan. Semua lukisannya laris diminati kolektor. Baru-baru ini ada yang terjual di luar negeri. Namun Aluna bukan seorang pelukis yang produktif. Ia hanya melukis ketika waktunya longgar. Dan waktu luang itu jarang ada, sebab hari-harinya habis bersama anak-anak yatim piatu. Ia relawan di sebuah yayasan sekaligus museum permainan anak di kota itu.

Tak ada yang lebih menggembirakan bagi seorang Aluna selain mendengar kabar sahabatnya akan pulang. Dua tahun setelah diterima bekerja di sebuah perusahaan terkemuka di Jakarta, Getar belum pernah kembali. Mama sangat rindu. Beruntung ada Aluna yang menghibur, yang tiap akhir pekan meluangkan waktu untuk menemani mama merawat tanaman dalam pot di taman belakang sembari mendengarkan mama bercerita.

Hari yang dinanti tiba. Sejak pagi Aluna membantu mama di dapur. Memasak makanan kesukaan Getar. Detik berjalan. Menit berganti. Jam berlalu. Dan bel berbunyi.

Dua tahun waktu yang singkat untuk membuat Getar tumbuh menjadi lelaki perkasa. Aroma kebahagiaan buncah memenuhi hati mama. Aluna juga bahagia. Ia terus tersenyum dan berusaha bersikap wajar walau ada sesuatu yang merongrong di sudut hatinya. Dadanya sesak melihat wanita yang berdiri di samping Getar dan dikenalkan sebagai kekasihnya.

Namanya Andini. Perempuan kota yang dari ujung kaki sampai ujung rambut telah disentuh kemodernisasian jaman. Perempuan pemilik bibir tipis bergincu merah merona. Rambutnya yang sebahu, lurus terurus dengan baik. Jari-jari tangannya panjang dengan cat merah disetiap kukunya. Tubuhnya tinggi langsing, tampak sekali hasil bentukan mesin-mesin gym.

**
”Wanita yang baik itu yang mau kotor-kotor dengan peralatan dapur.” Mama melirik Andini yang tiap selesai makan langsung meninggalkan meja dan duduk di depan televisi.

Sebenarnya mudah sekali mengambil hati mama yang penyayang itu. Hanya menjadi penurut dan bersedia sedikit saja membantu melakukan pekerjaan rumah, atau membantu merawat tanaman dalam pot, pasti mama akan menyayangi sepenuh hati. Namun Andini yang terbiasa dilayani pembantu dan suka berbuat semaunya, membuat mama enggan tersenyum padanya.

Watak dasarnya yang cuek membuat Andini tak merasa harus menghiraukan orang lain. Getar sangat mencintai Andini melebihi dirinya sendiri. Andini tahu itu. Getar rela berbuat apa saja yang ia minta. Bahkan beberapa kali ketika Andini mengancam putus, berkali-kali Getar meminta maaf dan memohon-mohon agar Andini tak melakukannya.

”Sebenarnya kamu disihir pakai apa sih sama perempuan kota itu, Tar?”

”Mama jangan ngomong gitu dong.”

”Kenapa anak mama bisa berubah seperti ini? Andini memang cantik. Tapi kecantikan saja tidak cukup, Tar. Mencari wanita juga harus yang memiliki budi pekerti yang baik. Tidak malas dan tidak memikirkan diri sendiri. Apa kamu mau jika punya anak nanti, anak kalian ditelantarkan di rumah, sedang waktu ibunya habis untuk jalan-jalan, pergi ke salon atau tempat gym? Wanita itu pengayom. Tempat pulang keluarganya.”

Ketenangan dan kebahagiaan yang dirindukan ketika tiba di rumah, justru melesat dari bayangannya. Getar serba salah. Mama sering menunjukkan sikap tak menyukai Andini. Dan perempuan kota itu tak peduli. Hingga puncak perang dingin itu terjadi pada suatu sore.

Sandal mama yang alasnya sudah tipis tak sengaja menginjak kulit pisang yang dibuang sembarangan oleh Andini. Mama terjengkang ke belakang. Beruntung tangan Aluna lebih sigap menahan badan mama. Namun kejadian yang tiba-tiba itu membuat Aluna kehilangan keseimbangan. Akhirnya mereka jatuh ke tanah dengan posisi badan mama di atas tubuh Aluna.

Mama baik-baik saja dan Aluna tidak terluka. Hanya saja malam saat hendak melukis, Aluna merasa sakit di pergelangan tangannya. Berkali-kali kuas yang dipegang jatuh. Tangannya seolah tak punya kekuatan untuk bergerak. Paginya ia memeriksakan ke rumah sakit karena mendapati memar di bagian bawah ibu jari. Ia shock. Dokter bilang tangannya mengalami patah tulang yang cukup serius.

Andini tak ingin terlibat lebih jauh. Ia memutuskan pulang ke Jakarta lebih dulu.

”Kini hidupnya tak secerah warna dalam lukisan-lukisannya. Ini semua gara-gara mama.”

”Semuanya kecelakaan. Aluna tidak marah. Mama jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu dong. Dia lebih kuat dari yang mama pikirkan.”

”Bagaimanapun juga, melukis tak bisa dipisahkan darinya. Kamu belum pernah tahu saat tiba-tiba ia tertawa atau matanya menetes di depan papan putih kosong itu. Kuasnya bergerak mengikuti kemelut hati, bercerita tentang hari-harinya, tentang kerinduan pada ibu yang belum pernah dilihat. Aluna tetap seorang wanita yang lemah. Ia lebih rapuh dari yang kita lihat, Tar.”

”Mama tak pernah minta apa-apa, Tar. Tapi jika kali ini mama minta sekali saja, apa kamu bersedia memenuhi? Tidak apa-apa jika keberatan. Dan anggap mama tak pernah mengatakan ini.”

”Permintaan apa, Ma?” Hati Getar cemas.

**
Pernikahan itu terjadi. Hanya keluarga dekat yang diundang. Akadnya dilakukan di masjid. Syukuran di gelar di yayasan tempat Aluna menjadi relawan. Getar mengabulkan permintaan mama untuk menikahi Aluna. Sahabat kecilnya sangat mama inginkan menjadi menantu.

”Tanaman mama dalam pot pelan-pelan tumbuh dan sekarang sudah tinggi. Begitulah cinta, akan tumbuh perlahan-lahan, Tar.”

Getar memboyong Aluna ke Jakarta. Ia baru mengabari Andini tentang pernikahan itu satu minggu kemudian.

”Maafkan aku, Din. Maafin aku banget.”

Berpuluh-puluh kali kata maaf keluar dari mulut Getar. Andini marah. Menangis. Memukul-mukul dada Getar. Ia merasa sangat bersalah pada Andini. Seharusnya ia menuruti perkataan mama untuk segera memberitahu Andini setelah akad itu terucap.

”Tega banget kamu khianatin aku, Tar.”

Andini tak mau kehilangan Getar. Ia baru menyadari jika dirinya benar-benar mencintai Getar. Kantor mereka bersebelahan. Andini selalu menemui Getar tiap istirahat dan pulang kerja. Tak jarang meminta Getar menemaninya jalan-jalan. Laki-laki itu mengiyakan, sebab dalam hatinya masih menyimpan nama Andini.

Rasa bosan menyergap Aluna yang tinggal sendiri di apartemen. Tak ada kanvas putih yang bisa dicoret-coret. Tak ada tanaman dalam pot yang perlu dirawat. Dan tak ada anak yayasan yang keceriaannya bisa mengusir sepi. Aluna hanya menonton televisi, membaca buku dan menunggu Getar yang kadang dua hari sekali baru pulang. Hidupnya terasa gelap. Ia stres. Dokter melarangnya banyak memikirkan sesuatu, sebab hal itu tak baik buat kandungannya.

**
Langit berwarna hitam. Hujan sudah turun. Rintiknya jatuh di atas payung lebar yang menaungi tubuh anak dan bapak itu. Sakti tidur di gendongan tangan kiri Getar. Bocah lucu empat tahun itu tak terganggu suara hujan yang berisik. Pulas ia tidur. Sesekali kepalanya miring ke kanan dan menyebabkan lesung di pipinya terlihat jelas ketika Getar menoleh hendak membetulkan posisi kepala anaknya.

Hujan semakin deras. Butirannya besar-besar jatuh. Baju Getar bagian lengan basah oleh air yang baru diusap dari matanya yang panas. Lesung pipi Sakti mengingatkannya pada Aluna.

Empat tahun lalu Getar mendapat telpon dari rumah sakit ketika langit sudah gelap. Mobilnya segera dilajukan berbalik haluan dari arah jalan menuju hotel yang telah Andini sebutkan. Kandungan Aluna sangat lemah dan ia mengalami banyak pendarahan. Getar terlambat. Sakti lahir namun Aluna menyerah.

Seminggu setelah Aluna meninggal, mama memberikan lukisan-lukisan Aluna yang sebulan sebelumnya dititipkan pada mama. Semua lukisan itu bergambar tentang seorang laki-laki dan perempuan. Lukisan tentang anak laki-laki menarik rambut anak gadis yang dikuncir ekor kuda. Lukisan tentang anak laki-laki dan anak gadis tengah berlarian di taman belakang rumah. Di lukisan lain anak laki-laki dan perempuan itu sudah remaja memakai seragam biru putih. Ada pula yang berseragam abu-abu.

”Aluna menyukaimu sejak kecil, Tar.” Getar melihat lukisan tentang seorang laki-laki yang sudah dewasa bersama seorang perempuan cantik. Itu bukan perempuan yang sama dengan lukisan-lukisan sebelumnya.

Laki-laki itu tak bisa menyembunyikan hatinya yang hancur. Ia berjalan menuju kamar mandi. Mengunci pintu. Menyalakan kran air. Sesenggukan duduk di lantai sambil memeluk lukisan terakhir yang mama serahkan. Sebuah lukisan tentang langit berwarna hitam dan seorang anak perempuan kecil. Lukisan yang bercerita tentang rindu, sedih, sepi dan sunyi milik Aluna. (*)

* Cerpen sederhana ini terpilih menjadi juara 2 program Bilik Sastra RRI Voice of Indonesia
Yesi Armand Sha.

12/18/2020

Kopi dalam Cangkir Ungu





Kopi dalam cangkir ungu dan sepiring besar nasi goreng udang telah aku siapkan di meja makan. Aku juga sudah menyuruh mas Yas keluar dari kamarnya agar segera menandaskan sarapan kegemarannya itu sebelum dingin. Saat mengetuk pintu tadi, tak ada sahutan dari dalam. Lima menit menunggu tak ada suara langkah mendekati pintu, aku memutuskan kembali ke kamar tidur. Hanya ingin kujelaskan, sejak Gilang liburan di rumah Emma, kami tidur beda kamar. Aku menempati kamar kami, sedang Mas Yas tidur di kamar tamu.
 
Suara hujan di luar mengiringi tanganku memasukkan baju ke dalam koper besar berwarna ungu yang semalam kusiapkan. Pagi ini menjadi hari berpisah bagi kami. Tak ada alasan lagi untuk tinggal. Semua telah ditentukan sejak dua belas tahun lalu. Aku ingat bagaimana awal mula perpisahan ini dimulai.
 
Malam itu hujan deras di bulan Januari...
 
‘’Maafkan aku Aluna. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.’’
 
‘’Kenapa?’’ Aku kaget sebab kukira rumah tangga kami baik-baik saja.
 
Mas Yas mengeluarkan selembar kertas yang telah dibubuhi tanda tangannya.
 
‘’Cerai?’’ Ada sesak yang tiba-tiba mengembang di dalam dada.
 
‘’Apakah selama ini Luna belum bisa menjadi istri yang baik?’’ Suaraku bergetar.
 
‘’Kamu sudah sangat baik, Luna. Justru aku yang tak pantas menerima kebaikan itu.’’
 
‘’Bukankah sudah semestinya sepasang suami istri saling berbagi kebaikan?’’
 
Aku lupa. Seharusnya saat itu aku sadar jika Mas Yas tak pernah menganggap aku sebagai wanitanya. Pernikahan kami tak didasari oleh cinta. Kebaikan-kebaikan Mas Yas tak lain  karena aku telah melahirkan  dan merawat Gilang, darah dagingnya.
 
‘’Viona mencariku.’’
 
Mendengar nama yang tak asing itu,  reflek membuatku mundur beberapa langkah. Tanpa sadar selembar surat yang berada di tangan kujatuhkan. Aku kehilangan kata-kata. Mendadak seluruh persendianku terasa ngilu.
                                                                           
**
 
Mungkin inilah yang dinamakan hidup tapi tak merasa hidup. Selama dua belas tahun aku seolah menjadi penghuni tetap sebuah ruangan di dalam penjara. Bukan fisikku yang dikurung dalam sel besi berhawa dingin itu, melainkan hati dan batinku yang dikungkung oleh rasa bersalah. Dan aku sepenuhnya sadar, mungkin itu yang dinamakan karma karena telah membalas kebaikan-kebaikan Aluna dengan air tuba.
 
Dinding pertahananku kala itu sudah tak mampu berdiri dengan kokoh. Dan akhirnya aku menuruti apa kata Viona. Aku mengatakan kejujuran pada Aluna karena bagaimanapun juga menyembunyikan hal itu lebih lama hanya akan membuat ia semakin tersakiti.
 
Raut Aluna pias karena melihat surat yang kubawa. Lalu wajah itu berubah pasi ketika aku menyebut nama Viona. Saat itu jika saja tanganku tak reflek menangkap kertas yang dipegangnya, sudah pasti surat cerai itu jatuh ke dalam panci berisi gulai kambing kesukaanku yang dimasakknya sebagai menu makan malam kami.
 
Tak pernah sebelumnya terbayangkan di benakku jika pembicaraan yang tak selesai malam itu menyisakan perih di hati Aluna. Berhari-hari perempuan berwajah panjang dengan hidung mungil itu lebih banyak diam. Tak terlihat lagi wajah riangnya seperti biasa yang membuat ramai rumah kami. Setelah mengurus Gilang, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan memandangi jendela kaca yang menghadap ke kebun bunga mawar di depan rumah kami.
 
‘’Apakah Mas sudah memikirkannya dengan matang ?’’ Di hari ketujuh Aluna membuka suara.
 
Aku menoleh. Pandangan kami bertaut. Sejenak aku bisa melihat wajahnya serupa mawar layu yang  disirami hujan deras siang dan malam selama bulan Januari itu.
 
‘’Ya,’’ jawabku lirih.
 
‘’Tidak bisakah mencari jalan keluar selain perpisahan?’’
 
Aku menarik napas panjang. Mulutku seakan terkunci. Hanya suara TV di depan kami yang seolah-olah menjawab pertanyaan Aluna.
 
‘’Apakah tidak ada jalan lain selain perpisahan?’ Aluna mengulang pertanyaan.
 
‘’Jujur sudah lama sekali aku memikirkan ini, dan berpisah hanya satu-satunya jalan.’’
 
‘’Gilang masih terlalu kecil.  Ia masih membutuhkan sosok seorang ayah. Tolong tunggulah sampai ia besar. Setidaknya sampai lulus SMP.’’ Dalam hitungan detik kulihat mata besarnya yang telah berubah sipit kembali menjatuhkan butiran-butiran bening.
 
Melihat Aluna tergugu, aku jadi teringat ibu yang menangis, memohon agar gugatan cerai yang telah bapak ajukan ke pengadilan agama dicabut.
                                                                         
**
 
Aku sering mendengar tentang Viona dari cerita-cerita ibu mertua. Mungkin membiarkan Mas Yas pergi ke sisi perempuan itu akan membuatnya bahagia. Tapi aku tak bisa melakukannya. Aku bahkan juga tak peduli dengan kata-kata Emma yang menganggap aku sebagai perempuan bodoh.

‘’Mbak ini kok rela banget menanggung beban batin. Sudah jelas-jelas dia tak mencintai Mbak, kenapa masih mengharapkannya?’’ Emma geregetan ketika suatu hari aku ngobrol dengannya.
 
‘’Kadang cinta bukan melulu tentang hal yang bahagia. Tapi cinta juga tentang pengorbanan, ketulusan dan keikhlasan,’’ Aku menghela napas sejenak,’’Aku selalu berdoa agar Tuhan menurunkan keajaiban.’’
 
‘’Keajaiban?’’ Emma tertawa hambar,’’Mbak, diluar sana masih ada Mas Adam, Mas Ridho dan Mas Arif yang menunggu Mbak. Mereka lebih baik dari Mas Yas. Mbak berhak bahagia dengan salah satu dari mereka. Untuk apa mempertahankan pernikahan yang sudah pasti akan berakhir?’’
 
Entah sudah berapa puluh kali kalimat serupa mengalir dari mulut Emma. Kadang aku sampai kasihan melihat adik yang menjadi satu-satunya tempatku cerita itu marah-marah karena nasehatnya tak pernah kupakai. Aku maklum dengan kemarahannya. Sebagai sesama wanita, aku yakin dia juga ingin melihat aku bahagia, dicintai lelakiku.

‘’Aku pikir menuruti cemburu dan sakit hati lalu memilih berpisah bukan keputusan yang dewasa. Tiga atau empat tahun setelah cerai mungkin akan menyembuhkan lukaku, tapi bagaimana dengan luka Gilang? Aku tahu orang dewasa berhak menentukan pilihannya sendiri, tapi perceraian bukan semata-mata urusan dua orang dewasa. Kukira tidak adil jika anak yang tak bersalah harus menjadi korbannya. Aku tidak ingin ada anak yang menangis karena perpisahan orangtuanya.’’
 
‘’Tapi pernikahan itu sudah pasti akan berakhir. Bukankah sekarang atau nanti akan sama saja?’’
 
‘’Walau bagaimanapun aku berharap perpisahan tak pernah ada. Jikalaupun terjadi, kurasa Gilang  pelan-pelan akan mengerti. Waktu akan membawanya menjadi dewasa.’’
                                                                       
**
 
Nasi goreng udang di atas piring putih besar sudah dingin. Kopi yang aromanya telah hilang pun tak membangkitkan selera. Entah kenapa sejak kemarin aku tak memiliki nafsu makan. Apapun yang kumasukkan ke dalam mulut rasanya hambar.
 
Jemariku memainkan pegangan cangkir. Aku yakin sejak hari pertama hingga saat ini Aluna tak pernah tahu asal muasal cangkir ungu yang tiap pagi ia gunakan untuk menyeduh kopi buatku. Cangkir bermotif bunga besar-besar itu pilihan Viona yang dibelinya berpasangan dengan milikku. Kata Viona, warna ungu memiliki filosofi yang sangat dalam. Orang yang menyukai warna ungu artinya tidak pernah ragu-ragu menghadapi masa depan.
 
‘’Anak laki-laki harus kuat.’’ Kata Viona ketika kami pertama kali bertemu.
 
‘’Kesedihan itu tak pernah ada. Manusia sendirilah yang menciptakannya. Memilih gelisah, bersedih hingga membuat segala sesuatu yang harusnya mudah menjadi runyam.’’
 
Aku takjub dengan perkataan-perkataan Viona yang seperti orang dewasa. Perlahan aku mulai belajar berpikir sepertinya, membuang kesedihan dan menciptakan hari-hari bahagia. Viona yang ceria, tangguh dan pantang menangis  laksana obat mujarab yang menyembuhkan lukaku pasca perceraian ibu dan bapak. Viona selalu ada. Ia menghibur, tersenyum dan membuat hariku selalu hangat.
 
Viona bagai malaikat. Ia tak memiliki cacat. Bahkan setelah membuat hatiku hancur berkeping-keping lantaran suatu hari ia pergi dengan laki-laki yang baru dikenalnya.
 
‘’Melihatnya seperti melihat diriku dalam sosok lain. Maafkan aku Yas. Kukira diakhiri sekarang lebih baik daripada nanti akan membuat kita sama-sama tersakiti.’’

Viona meninggalkan aku dan rencana-rencana yang telah kami susun untuk menikah. Lalu setelah bertahun-tahun pergi, ia kembali saat aku sudah menikah dengan  Aluna dan kami dikaruniai Gilang. Viona mencariku. Ia menangis dan aku tak tega melihat air mata orang yang sangat kukasihi itu jatuh.
 
Tiiiiin Tiiinn...!!
 
Suara taksi yang berhenti di depan rumah membuyarkan lamunanku. Tak berapa lama Aluna keluar kamar membawa kopernya.
 
‘’Luna pulang, Mas.’’ Ia mendekat. Aku pasrah ketika tanganku diraih lalu ditempelkan di dahinya.
 
‘’Di  kulkas ada gulai kambing dan soto ayam, Mas hanya perlu memanasi saja nanti.’’
 
Aku tak pernah paham apa yang dipikirkan Aluna. Kenapa ia masih selalu saja bersikap baik. Selama dua belas tahun belum sekalipun aku melihat ia bermuka masam. Selama dua belas tahun itu Aluna selalu merawat rumah dengan baik. Menghangatkan meja makan kami dengan masakannya yang enak. Menyiapkan baju bersih untukku, dan setiap pagi mengantarkan aku menuju pintu, lantas menempelkan punggung tanganku di dahinya. Aluna selalu melepas aku berangkat kerja dengan senyum lembut yang terbingkai dari wajahnya yang ramah, pun ketika aku pulang.

Kebaikan-kebaikannya yang tak pernah berhenti membuat aku sering merasa bersalah. Seharusnya seperti pagi ini, ia bisa saja meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan dan tak usah memikirkan aku makan apa. Aluna bahkan berhak marah atas semua sikap pengecut yang telah kulakukan padanya.
 
‘’Nanti kalau ada apa-apa, jangan sungkan telpon Luna.’’
 
‘’Luna.’’
 
Ia berhenti. Menoleh.
 
‘’Jika saja kamu lebih dulu hadir dalah hidupku, pasti aku akan mencintaimu selamanya. Maafkan aku.’’ Tiba-tiba kalimat yang telah lama menghuni lubuk hatiku keluar begitu saja.
 
‘’Tidak ada yang salah Mas. Cinta memang tidak bisa dipaksa, tapi berada di sisi Mas seperti selama ini sudah cukup membuat Luna bahagia. Belum pernah sekalipun Luna merasakan kebahagiaan semacam ini,’’ Aluna berhenti sejenak,’’Juga terimakasih karena Mas sudah bersedia mengabulkan permohonan Luna untuk menundanya sampai hari ini. Andai perpisahan itu terjadi dua belas tahun lalu, Luna pasti tak bisa memafkan diri Luna sendiri jika dikemudian hari Gilang depresi atau terjadi sesuatu dengannya.’’ Perkataan Aluna seolah membawa ingatanku terbang kembali ke masa kecil.
 
‘’Tapi bagaimana kita harus menjelaskan pada Gilang tentang hari ini?’’
 
‘’Gilang sudah besar, dia akan mengerti. Luna pulang, Mas.’’ Aluna melangkah menjauh, meyisakan suara roda kopernya yang beradu dengan lantai. Semakin jauh, suara itu terdengar semakin keras menyusup ke dalam lubang telingaku, lalu menjalar ke seluruh syaraf-syaraf di kepalaku dan berhenti tepat di dada.
 
Aku masih bergumul dengan rasa yang tak kuketahui apa namanya itu. Rasa sedih dan kehilangan seolah bercampur menjadi satu lantas berputar-putar di atas kepalaku. Aku bingung, entah apa yang harus kuperbuat dan pada akhirnya yang kulihat hanya hujan yang menyambut Aluna begitu ia keluar dari pagar. Lalu sopir taksi turun membantunya membawakan koper dan menaruh di bagasi belakang. Tak berapa lama terdengar suara pintu mobil ditutup disusul  deru kendaraan itu.
 
                                                                         
**
 
‘’Luna... Luna...’’
 
Taksi yang dinaiki Aluna sudah sampai di belokan kompleks perumahan kami. Aku berlari menembus hujan mengejar mobil biru muda itu. Napasku tersenggal-senggal. Entah Aluna yang menoleh ke belakang atau sopir itu yang melihatku berlari dari kaca spion, yang jelas mobil itu bergerak memelan lantas berhenti di pinggir jalan.
 
‘’Mas Yas.’’ Aluna turun dari mobil. Melebarkan payung. Rautnya menyiratkan tanya.
 
Aku menarik tubuh Aluna ke pelukanku.  Aku baru sadar itu adalah pelukan pertama kami setelah entah berapa tahun kami tak melakukannya. Perihku semakin menjalari hati saat aku menyadari tubuh Aluna semakin kurus. Baju kebesaran yang dikenakannya hanya membalut tulang belulang. Pipinya tyrus dengan mata yang cekung. 
 
‘’Maafkan aku Luna. Maafkan.’’ Mataku memanas. Sesenggukan aku di pundaknya.
 
‘’Mas kenapa?’’
 
Aluna masih bingung melihat tingkahku. Ia tidak tahu jika kopi buatannya telah  kutuang ke dalam wastafel dan cangkir ungu sudah kubuang ke dalam tempat sampah. Kisah lalu memang manis untuk diulang, tapi aku percaya jika Tuhan selalu menghadirkan orang yang tepat untuk berada di sisi kita. Dan, perempun setia dan  berhati lembut itulah yang Tuhan kirimkan untukku. Aluna, hatiku mantap memilihnya.(*)


*Yesi Armand Sha




9/14/2020

Petrichor


Aku selalu ingin menangis ketika hujan turun, karena aroma tetes air yang dilepas langit itu selalu menyimpan rindu, cinta dan kenangan pada orang terkasih

Sekolahan sudah sepi, tapi ia masih berdiri di sana. Punggungnya disandarkan pada tembok perpustakaan, sedang jari-jarinya memilin ujung tali ransel. Sesekali ia mengangkat tangan kirinya sedikit ke atas, untuk melihat jam berapa.
Hujan masih menderas. Ia mulai berjalan ke kiri-kanan sambil menghentak-hentakkan sepatunya ke lantai. Melihat apa yang tengah ia lakukan, tampak sekali kegelisahan menghuni sudut hatinya.

”Laluna.” Akhirnya kusapa dia. Karena selain kasihan, aku juga sudah bosan hanya memperhatikannya terlalu lama dari balik tembok perpustakaan.

Ia tak menjawab. Hanya memandangiku dengan tatapan menyelidik.

”Aku melihat tag name-mu.” Bohongku.

Dibanding dengan cewek-cewek di sekolah yang ingin mendapat perhatianku, Laluna memiliki paras di bawah mereka. Wajahnya biasa saja. Ia memiliki gigi yang tidak teratur di bagian atas tapi hal itu akan membuatnya terlihat manis ketika tersenyum. Sejauh pengamatanku, Laluna cewek yang pendiam, cuek dan tak terlihat memiliki teman dekat. Mungkin ia merasa tak butuh teman, karena selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendirian.

Aku baru benar-benar mengetahui tentang Laluna seminggu belakangan sejak aku mulai memikirkan syarat yang diajukan olehWanda, cewek adik satu tingkat yang kutaksir mati-matian sejak ia mendaftar masuk di sekolah. Di mata cowok-cowok seluruh sekolahan, Wanda adalah sosok gadis sempurna. Tak perlu kujelaskan bagaimana detailnya. Hanya saja siapapun yang melihatnya, pasti akan mengira bahwa ia adalah keturunan Jawa-Arab dan Korea. Tapi, asumsi itu salah besar karenaWanda asli berdarah Sunda.

Jika biasanya aku yang bosan menerima kiriman surat, coklat atau bunga dari cewek-cewek, dunia seakan terbalik ketika tiba giliranku yang terus menerus mencari perhatian Wanda. Demi dekat dengannya, aku rela membuang eksistensiku sebagai cowok favorit di sekolahan. Aku tak peduli dengan nilai rendah, kata gila dan bodoh yang diberikan oleh orang lain, karena pada akhirnya usaha yang sekian lama kulakuan membuahkan hasil. Wanda mulai melihatku, dan ia berkata akan menerima cintaku tapi dengan syarat aku harus menaklukan hati Laluna, memacari selama sebulan dan memutuskannya tiga hari sebelum ujian tengah semester.

”Hujannya deras sekali.” Aku menirukan mata Laluna yang memandang genangan air di depan kami.

Laluna bergeming. Beberapa menit tak ada reaksi, ia bersikap seolah tak ada makhluk hidup di sampingnya.

”Benar-benar cewek dingin.” Batinku.

”Iya, hampir lima belas menit seperti itu.” Suaranya terdengar lesu.

Salah! Bukan lima belas tapi hampir setengah jam, Laluna. Aku tahu betul di menit keberapa kamu berdiri di sini, karena aku telah mengikutimu sejak kau keluar dari kelas.

”Kamu nggak bawa payung?” tanyaku.

Ia diam.

”Pakai punyaku.” Kusodorkan payung yang sengaja kusiapkan.

Ia menggeleng. Wajahnya datar tanpa ekspresi.

**
Aku menyesal kemarin telah meninggalkannya seorang diri, padahal saat itu kulihat carut belum hilang dari wajahnya. Kepalaku dipenuhi pikiran tentangnya karena tadi pagi ia tak terlihat melewati pintu gerbang sampai bel masuk berdering. Aku juga tak menemukannya ketika istirahat tadi diam-diam aku main ke kelasnya. Tiba-tiba aku khawatir dan takut sesuatu buruk terjadi padanya.

Brukk…

Sesosok tubuh mungil membuyarkan lamunanku. Ia mengambilkan kunci motor yang jatuh lalu menyerahkan padaku.

Mataku berubah cerlang begitu melihat sosok yang menabrak itu.”Laluna.”

”Maaf Kak. Aku nggak sengaja.”Sesalnya.

”Tak apa.”

”Syukurlah. Aku duluan ya.” Laluna gegas pergi tanpa menunggu persetujuanku.
Aku berusaha berjalan menyusul langkahnya yang cepat. Kulihat ada gelagat bersahabat pada sikapnya.

”Kupikir kamu hari ini tak masuk. Tadi pagi kamu berangkat jam berapa?” tanyaku.

”Seperti biasanya. Aku tak begitu ingat jam berapa.”

”Tapi kenapa aku tadi tak melihatmu masuk lewat pintu gerbang.”

Laluna menghentikan langkahnya. Ia menatapku lalu mengernyitkan dahi.

”Oh tidak. Mana mungkin aku menunggumu,” kataku seraya terbahak.

”Aku juga tak pernah kepikiran kakak menungguku.”

Aku tergeragap dan seketika aku merasa menjadi orang yang paling bodoh sedunia.

”Eee… Maksudku…’’ Aku kebingungan mencari kata yang tepat.

”Hujan akan turun. Kalau masih ada yang ingin kakak bicarakan, besok saja.”Laluna memotong kalimatku.

”Kamu nggak bawa payung lagi? Aku antar biar cepat sampai rumah.”

Ia menghentikan langkah. Mata jernihnya tajam menatapku. Aku menyesal mengucapkan kalimat itu karena aku takut ia tak suka ada orang yang tiba-tiba sok dekat dengannya.

”Kakak serius mau memberiku tumpangan?” tanyanya penuh harap.

”Apa ucapanku terdengar main-main?”

”Sekali ini, aku akan merepotkan kakak,” ujarnya dengan wajah yang menyiratkan terimakasih.

Kami pun membelokkan langkah menuju parkiran. Dan tak berapa lama motorku membawa tubuh kami keluar dari pagar sekolahan diikuti tatapan aneh cewek-cewek yang biasa mencari perhatianku.

Tak sampai dua puluh menit motorku berhenti di depan sebuah rumah sederhana bercat hijau lumut. Begitu aku mematikan motor, Laluna gegas turun lalu berlari ke dalam rumah. Tak ada kata terimakasih atau ucapan mampir untuk sekedar minum teh hangat yang keluar dari mulutnya. Aku hampir meninggalkan rumah itu jika saja seorang wanita berusia senja yang punggungnya melengkung ke depan tak keluar dari rumah, menahanku dan menunjukkan bahwa gerimis telah mericis.

”Kamu temannya Laluna, kan? Terimakasih sudah mengantarkan pulang,” ucap wanita itu lemah. Ia menyerahkan segelas teh manis panas padaku yang duduk di kursi anyaman bambu depan rumah. Tak menunggu lama, cepat aku memindahkan gelas itu dari tangannya yang gemetaran karena usia.

”Kebetulan saya lewat sini,” Aku tak sedang berbohong karena jalan rumah kami ternyata searah, hanya saja aku harus belok memasuki perkampungan yang lumayan padat untuk sampai di rumah ini.

”Kemarin hujan turun lama sekali.”

Uhuk-uhuk…

”Ia pulang jelang malam.”

”Tapi kemarin sekolah bubaran seperti biasa.”Aku tak mengatakan jika kemarin sempat menyapa Laluna dan meninggalkannya sendirian di sekolah.

”Hujan deras tujuh tahun lalu ibu dan bapaknya meninggal karena tertabrak mobil saat mereka hendak menyeberang jalan,” tatapan wanita yang seluruh rambutnya telah memutih itu lurus ke depan seolah menembus hujan yang terus turun,”Hujan selalu membawa ingatannya pulang pada kejadian naas yang dilihat dengan mata kepalanya itu.”

**
Tiga bulan berlalu. Seminggu lagi kami akan menghadapi ujian tengah semester.

”Kenapa kak Bragi belum juga memacari lalu memutuskan Laluna?” Wanda menghentikan langkahku di jalan menuju parkiran.

”Kenapa aku harus melakukan itu?”

”Kak Bragi sudah lupa dengan kesepakatan kita?”

”Dengar ya Wanda, aku dekat dengan Laluna bukan karena mengikuti rencanamu.” Aku mengatakan yang sebenarnya karena sejak awal aku tak mengerti dengan apa yang ada di pikiran Wanda. Jika ia memang tulus mengharapkanku, kenapa harus ada kesepakatan. Bukankah cinta tak perlu syarat untuk menyatukan dua hati?

Hari dimana aku pertama kalinya menyapa Laluna itu, aku mulai memikirkan apa yang sebenarnya sedang direncanakan Wanda. Maka, tanpa sepengetahuan siapapun, aku diam-diam mencari informasi mengenai Wanda, tentang Wanda di kelas dan tentang hubungan Wanda dengan teman-temannya.

Pertanyaan yang kulontarkan tanpa menimbulkan kecurigaan pada teman-teman cewek Wanda akhirnya mendapat jawaban. Dari berbagai jawaban, aku bisa menyimpulkan bahwa Wanda benar menyukaiku dan Wanda sama sekali tak ada rasa padaku. Tapi dari kedua kesimpulan itu ada satu kesimpulan lagi yang lebih penting. Yakni Wanda ingin menggunakan aku untuk mengacaukan pikiran Laluna. Wanda ingin aku memacari Laluna lalu memutuskan jelang ujian tengah semester. Begitu konsentrasi Laluna pecah karena hatinya sedih sebab putus cinta, celah itu akan Wanda gunakan untuk mengalahkan teman sekelasnya itu.

Wanda termasuk siswa yang pandai. Tapi meski seberapa keras ia belajar dengan berbagai les tambahan, ia belum bisa mengungguli Laluna yang prestasinya selalu berada di posisi atas. Teman-teman di kelasnya juga heran, karena Laluna yang tak pernah mengikuti kursus di luar jam sekolah, bisa mengingat dengan baik pelajaran yang hanya sekali saja dipelajari. Laluna memiliki otak yang sangat encer.

”Jadi waktu itu semuanya bohong?”Suara Wanda naik beberapa oktaf.

”Bukan begitu, Nda. Hanya saja…,”

”Hanya saja kakak sekarang benar-benar menyukai Laluna?”

”Wanda, dunia ini akan lebih indah jika semuanya didasari oleh ketulusan dan kejujuran.”

”Kak Bragi nggak usah nasehatin Wanda. Ceramahi saja Laluna sana! ” Wanda pergi. Wajahnya merah.

Aku menarik napas panjang kemudian meneruskan langkahku yang sempat terhenti.

”Kak Bragi, buruan! Mau hujan,” teriak Laluna dari depan pintu parkiran.

Aku berlari-lari kecil ke arah adik kelasku itu,”Siap tuan putri.”

Laluna terkekeh, menunjukkan deretan giginya yang tidak teratur dan aku suka melihat pemandangan itu.

Musim sudah hendak kemarau, tapi hujan masih sering turun. Laluna masih tak menyukai aroma hujan atau aroma tanah kering yang basah. Laluna juga tak pernah membawa payung. Tapi ia tak lagi menunggu hujan reda sendirian, karena aku selalu menemaninya berdiri menyandarkan punggung di tembok perpustakaan atau jika tidak, motorku akan lebih cepat membawanya sampai rumah sebelum air langit itu menginjak bumi. (*)

* Cerpen ini pernah termuat di majalah Hong Kong Fairies. 

*Yesi Armand Sha

9/11/2020

Laki-laki itu Tengah Terlelap






Aku biasa mengenali kedatangannya dari bunyi derap sepatunya yang beradu dengan lantai. Biasa setelah menutup pintu, ia akan menautkan matanya dengan retinaku. Lalu menanyakan bagaimana kabarku, yang tak lupa disertai dengan seulas senyum hangat dari bibirnya yang kebiruan. Hari ini aku tak tahu ia tiba jam berapa. Aku tak mendengar suara sepatunya dan tak tahu kapan ia masuk. Tiba-tiba saja aku melihat laki-laki itu sudah terlelap di atas kursi separuh sofa berwarna abu-abu itu.

Laki-laki itu melipat kedua tangannya di depan dada, sedang kedua kakinya terjulur ke lantai. Kepalanya menunduk dengan kedua bola mata yang mengatup sempurna. Dari gerak napasnya yang naik turun dengan tenang, tampak sekali ia tengah menikmati tidur dengan posisi duduk itu. Tak seperti aku yang jika tidur harus terbujur di atas kasur, ia bisa pulas di sembarang tempat.

Agaknya memang laki-laki itu diciptakan untuk mudah tidur. Aku ingat kala kami masih kanak-kanak, teman-teman jarang mau melibatkan ia ke dalam sebuah permainan yang mengharuskan untuk sembunyi.

”Aku ikut bermain,” pintanya pada teman-teman kala itu .

”Tidak! Kalau sembunyi kamu selalu ketiduran. Menjengkelkan sekali,” tolak salah satu teman kami.

”Kali ini aku tak akan tidur sembarangan.” Ia menempelkan jari kelingkingnya dengan ibu jari, sedang ketiga jari lainnya tegak lurus menghadap ke atas. Ia membuat janji.

Sebelum pendirian teman-teman goyah, laki-laki itu tak akan berhenti membujuk. Ia terus berkata-kata melafalkan janji-janjinya dengan suara berisik, yang pada akhirnya membuat teman-teman merasa risih dan laki-laki itu diterima untuk bergabung bermain.

Tiga kali putaran, permainan masih berjalan dengan baik. Tapi di putaran selanjutnya, janji yang diucapkan oleh laki-laki itu tinggal kata-kata belaka. Kami kembali dihadapkan pada kenyataan yang sebenarnya sudah terjadi berkali-kali. Ya, lagi-lagi ia membuat aku dan teman-teman kelimpungan mencari tempat persembunyiannya.

Setelah lama dicari, salah seorang teman kami kadang memergokinya tengah berdiri dengan mata terpejam dan tubuhnya menempel di tembok dekat gang kecil yang menghubungkan rumahku dengan sumur belakang. Atau di lain waktu ia ditemukan sedang mendengkur di dekat tumpukan kayu kering yang akan dipakai sebagai bahan bakar untuk menggoreng krupuk. Pernah juga ia ketiduran di atas dahan pohon kopi di belakang rumahku. Laki-laki itu mudah sekali tidur. Mungkin itu imbas karena malamnya ia terjaga terlalu larut sebab setelah membungkusi krupuk di rumahku, ia harus belajar setelah sampai di rumahnya.

Laki-laki itu kadang memang menjengkelkan, tapi aku juga tak menampik kenyataan kalau aku sering diam-diam memperhatikannya ketika ia datang dengan sepeda onthel yang belnya selalu diputar berulang-ulang. Suaranya yang cempreng ketika menyapa bapak selalu membawa kakiku untuk cepat-cepat lari menuju jendela kaca berwarna hitam yang tak tembus pandang jika dilihat dari luar. Di pojokan jendela itu aku sesekali mengulum senyum sambil mengamati laki-laki itu yang dibantu bapak memasukkan krupuk-krupuk memenuhi dua keranjang belakang sepedanya.

”Ini catatannya. Hati-hati dan cepat pulang.” Pesan bapak.

”Enggeh pak.” Laki-laki itu menerima kertas dari bapak, mempelajarinya dengan cermat lalu memasukkan ke dalam tas slempang kecil berbahan kulit yang mulai mengelupas. Setelahnya, laki-laki itu gegas memutar sepeda onthel tuanya dan bersiap menyetorkan krupuk ke toko-toko sesuai dengan kertas yang berisi catatan tulisan tangan bapak itu.

**

Laki-laki itu masih terlelap. Beberapa kali kepalanya bergerak-gerak seakan hendak roboh, namun tidak jadi jatuh karena lekas tegak kembali. Melihatnya, aku jadi kasihan. Sepertinya ia mengantuk sekali atau barangkali sangat kelelahan.

Sebenarnya aku sudah sering menasehatinya agar lebih banyak istirahat di rumah. Berkali-kali pula kukatakan agar di usianya yang mulai senja itu, ia lebih fokus memperhatikan kesehatannya dan mengurangi pekerjaan di toko buku.

Agus dan Iwan sudah bekerja bertahun-tahun. Tabiat baik dan kejujurannya sudah tampak. Mereka amanah, percayakan saja urusan toko pada mereka. Kamu tak perlu pergi ke toko setiap hari,” kataku suatu hari.

”Aku pun memiliki pandangan sepertimu tentang mereka. Tapi masalahnya bukan percaya atau tidak. Hanya saja jika otak ini jika tak digunakan untuk bekerja sebagaimana mestinya, aku takut akan lebih cepat pikun sebelum waktunya. Bagaimana jika aku tak bisa mengenalimu lagi. Aku tak ingin hal itu terjadi padaku,” kilahnya menggodaku.

”Kamu kan bisa menghabiskan waktu dengan merawat taman di depan rumah, mencabuti rumputnya, dan memangkas tanaman yang keluar pagar.”

”Semua itu tak menyenangkan jika dilakukan sendirian. Lagipula belakangan toko ramai. Tenagaku cukup dibutuhkan disana.”

Laki-laki itu memang seorang pekerja keras. Bahkan ia sudah mandiri sejak kecil. Ketika anak-anak seusianya sibuk menadahkan tangan pada orangtuanya untuk meminta uang jajan, ia telah memiliki penghasilan sendiri. Upah membungkusi dan mengantar kerupuk yang diperoleh dari bapak cukup untuk memenuhi sakunya. Bahkan setelah dikumpulkan berbulan-bulan, bisa membantu ibunya untuk membayar bulanan sekolahnya sendiri.

Semua tahu jika laki-laki itu sudah lebih dewasa dari usianya. Ia menjaga ibu dan adik semata wayangnya dengan baik. Ia tak pernah membuat khawatir ibunya dan tak pernah membuat marah perempuan berbadan ringkih itu. Ia berubah menjadi laki-laki yang lebih tanggung jawab sejak bapaknya meninggal ketika ia berusia sepuluh tahun.

Laki-laki itu tak mau menyusahkan ibunya. Ia selalu berusaha menghasilkan uang sendiri. Sejauh yang kutahu, selama kuliah ia jarang menggunakan uang kiriman dari ibunya. Semester satu sampai tiga ia biayai kuliahnya dari upah kerja paruh waktu. Di semester lanjutan sampai akhir, ia menghasilkan uang dari berdagang. Ia berjualan apa saja. Kadang kulakan baju, celana atau sepatu untuk dijual pada teman kost atau teman kampusnya.

Aku mengetahui dengan baik perjuangan kerasnya itu, karena kebetulan kami kuliah di kampus yang sama dan tinggal di tempat kost yang tak terlalu jauh. Ah bukan. Sebenarnya itu bukan kebetulan. Jika mengingat hal itu aku selalu merasa berhutang budi padanya.

”Ayolah tolong aku sekali ini. Hanya kamu yang bisa membantuku,” pintaku kala itu dengan wajah penuh pengharapan.

”Kenapa harus aku? Teman-teman lain juga ada yang kuliah di kota,” jawab laki-laki itu.

”Kau tahu sendiri kan, bapak sangat percaya padamu. Pasti bapak akan mengijinkanku kuliah di kota jika tahu bahwa kamu juga kuliah di kampus yang sama,”kataku berusaha menjelaskan tentang kekhawatiran bapak untuk melepasku hidup di kota.

Laki-laki itu tak memberi kepastian bahwa ia akan membantuku untuk membujuk bapak. Hanya saja dua hari setelahnya, bapak memberi kabar yang membuatku sangat bahagia. Aku diijinkan untuk kuliah di kampus yang kupilih. Agaknya laki-laki itu sudah berbicara dengan bapak.

**

Suara beberapa anak kecil yang berbicara di luar terdengar cukup berisik. Andai tanganku tak dipasangi selang-selang infus, pasti aku akan keluar lalu meminta mereka untuk memelankan suaranya agar tak mengganggu tidur laki-laki itu. Aku ingin melihatnya tidur lebih lama lagi.

”Alisa, kamu sudah bangun”’

Aku tergeragap mendengar suaranya yang tiba-tiba.

Laki-laki itu mendekat, ”Aku tadi tiba ketika kamu sedang tidur. Makanya kuputuskan menunggu sampai kamu bangun. Tapi akhirnya aku malah ketiduran.”

”Bagaimana keadaanmu hari ini?” tambahnya.

Ia tersenyum lalu menautkan retinanya dengan mataku. Aku menemukan tatapan dari pemilik mata kopi itu masih sama seperti tatapan puluhan tahun silam.

Puluhan tahun silam itu…

”Aku tak tahu seperti apa laki-laki itu. Aku tak bisa membayangkan sebuah kehidupan dengan seorang yang tak kukenal. Aku ingin menolak perjodohan itu tapi aku juga tak ingin melukai hati bapak.” Aku tergugu menceritakan perihal perjodohan antara aku dengan anak laki-laki pelanggan krupuk bapak.

”Lagi pula hatiku sudah menyimpan sebuah nama,” tambahku.

Laki-laki yang diam dengan wajah tak bisa kubaca itu menarik kursinya berhadapan denganku. Wajahnya sangat serius. ”Alisa, jawab sejujurnya apa yang kukatakan. Apakah nama yang kau simpan itu namaku?

Aku tak berani menjawab. Hanya mampu menutupkan kedua tangan ke wajahku yang penuh air.

”Sebelum semuanya terlambat, aku juga ingin memberitahumu satu hal. Aku mencintaimu, Alisa. Aku mencintaimu sejak saat itu. Sejak kamu mengintip aku melalui kaca depan rumahmu.”

Laki-laki itu membimbing tanganku turun perlahan-lahan hingga membuat tangisku pecah karena kaget dan malu. Setelahnya, aku pun menemukan sebuah ketulusan dan kehangatan di kedalaman matanya.

”Alisa, kamu melamun?” Kedua kalinya, suara laki-laki itu mengagetkanku.

”Tidak. Bukan,” kataku cepat. Aku berbohong.

”Dokter bilang seminggu lagi kamu boleh pulang. Aku sudah merindukan kopi buatanmu.” Sebuah senyum terkulum dari bibirnya yang membawa aroma kebahagiaan.

”Syukurlah. Aku juga sudah bosan terbaring di kamar ini berminggu-minggu,” jawabku tak kalah bahagianya.

”Lekas sehat ya, Sayang. Aku ingin selalu menghabiskan waktu bersamamu. Aku berjanji akan lebih banyak menemanimu di rumah. Membantumu membuat cake atau merawat tanaman di depan rumah.” Laki-laki itu menggenggam tanganku. Memilin-milin cincin pernikahan kami yang melingkar di jari manisku. Hingga kemudian punggung tanganku terasa hangat oleh sebuah kecupan.

”Aku mencintaimu,” bisiknya. (*)


*Cerpen sederhana ini pernah tersiar di taboid ApakabarPlus Hong Kong.

9/06/2020

Sajadah Hijau Bapak


Sejak satu jam lalu hingga saat ini, Ahmad masih membantu mencari sajadah kesayangan bapak. Semua tempat sudah ia cari. Lemari, tempat cuci baju, jemuran belakang, bahkan kolong bawah ranjang tak ketinggalan diperiksa, tapi sajadah hijau itu belum juga mau menampakkan diri. Air muka bapak mulai keruh. Baju-baju yang sudah mulai berantakan kembali diperiksanya satu persatu.

Sebenarnya jika diamati tak ada yang istimewa darinya. Seperti sajadah lain, sajadah itu terbuat dari beludru berhias gambar masjid di tempat sujud. Warna hijau tuanya sudah pudar. Bahkan jahitan pinggir keempat sisinya sudah mulai lepas.

”Bapak nanti kan bisa memakai sajadah lainnya?” ucap Ahmad mencoba memberi saran pada bapak.

”Iya, Le. Tapi sayang kalau pakai sajadah lain. Jika kita beribadah memakai barang pemberian orang lain, maka orang yang memberi itu, Insya Allah juga akan mendapat pahala kebaikan karenanya.”

Sejak memori otaknya bisa mengingat dengan jelas, belum pernah sekalipun Ahmad melihat bapak sholat memakai sajadah lain. Ia sering heran kenapa bapak tidak mau ganti dengan sajadah bermotif serupa dan berwarna sama tapi lebih bagus dari sajadah kesayangannya itu. Kini keheranan Ahmad terjawab, dengan memakai sajadah itu beribadah, pasti bapak berharap di alam kuburnya sana, mbah Ripin juga mendapat pahala kebaikan seperti yang baru saja bapak katakan.

”Sajadah hijau itu dulu pemberian dari Almarhum mbah Ripin.” Cerita bapak suatu ketika saat memperkenalkan perihal sajadah kesayangannya itu.

Ahmad mengenali sosok mbah Ripin dengan melihat foto yang dipajang di bufet ruang tamu rumah mereka. Foto hitam putih yang tampak lawas dalam pigura berukuran kecil itu, mbah Ripin mengenakan baju koko dan peci berwarna hitam. Selembar sorban bermotif kotak-kotak menggantung di bahunya. Di dagu mbah Ripin ditumbuhi beberapa jambang tipis. Dan terlihat jelas, senyum lembut yang terbingkai dari wajah ramah mbah Ripin memancarkan ketenangan dan aura kewibawaan.

”Mbah Ripin dulu seorang guru ngaji.” Jelas bapak dengan wajah sumringah. Itu adalah ekspresi yang selalu Ahmad lihat pada raut muka bapak ketika menceritakan tentang sosok mbah Ripin. Dari kata-kata yang dituturkan bapak, terlihat jelas bahwa bapak sangat mengagumi dan menghormati mbah Ripin.

Masih menurut cerita bapak, dulu mbah Ripin adalah satu-satunya orang yang mengajari mengaji ketika banyak orang di desa mereka belum bisa membaca huruf hijaiyah. Mbah Ripin mengajari anak-anak kecil sepulangnya dari berladang atau dari sawah.

Tak hanya anak sekolahan dasar saja yang belajar kepada mbah Ripin, tapi muridnya juga dari kalangan pelajar di tingkat SMP dan beberapa yang sudah sekolah STM. Bahkan Saking banyaknya anak, kadang waktu ngaji antara jam empat sampai jelang waktu Maghrib itu tak cukup jika mbah Ripin harus mengajar sendirian. Maka agar semua murid selesai mengaji sebelum masuk waktu adzan Maghrib, mbah Ripin mengutus beberapa anak yang sudah besar dan benar bacaan hijaiyahnya untuk mengajari anak yang baru belajar di tahap dasar.

”Meski harus bergantian saat membaca Iqro’ dan Qur’an-nya, tapi kami belajar dengan semangat. Kami biasa adu cepat agar bisa datang paling awal ke langgar, karena siapa yang datang paling dulu artinya ia yang berkuasa atas Iqro’ atau Qur’an di langgar. Kau tahu arti dari berkuasa, kan? Maksudnya adalah berkesempatan untuk ngaji di urutan paling depan,” tambah bapak lagi dengan wajah yang berseri-seri.

”Kami berangkat cepat bukan hanya karena mengejar urutan ngaji paling awal saja, tapi kami juga mencari kesempatan agar bisa membersihkan dan menata tempat yang biasa digunakan mbah Ripin untuk duduk, lalu menimba air di sumur untuk wudhunya mbah Ripin. Kami selalu berlomba-lomba paling cepat menyiapkan apa-apa yang beliau perlukan. Bahkan saking hafalnya kebiasaan mbah Ripin, kami sudah lebih dulu bergerak sebelum beliau menyuruh.” Ada binar yang terpancar dari wajah bapak. Pasti bapak sedang mengingat kenangan indah bersama kawan-kawannya waktu mengaji bersama mbah Ripin.

”Bagi kami, mbah Ripin seperti orangtua yang harus kami senangkan dan hormati. Kami selalu berlomba untuk merebut hati dan mendapat perhatiannya. Mengingat saat itu, kadang aku merasa kasihan jika membandingkannya dengan anak di jaman sekarang.” Binar di wajah bapak seketika berubah menjadi nanar. Mungkin bapak sedang memikirkan zaman yang sangat bertolak belakang dengan masa kecilnya.

Ya, sebuah pemandangan getir memang, tapi itulah kenyataan yang terjadi di desa mereka. Dimana anak kecil kini sedikit sekali yang mau belajar ngaji. Orangtua semakin menekan anaknya untuk unggul di bidang akademis. Mereka menyuruh anak-anaknya les ini dan itu, berangkat pagi dan pulang jelang malam, namun mereka tak menyuruh anaknya untuk mengaji dan belajar agama. Ilmu di bidang akademis memang perlu, tapi bagaimanapun juga belajar agama itu sangat penting, sebab dengan belajar agama, manusia tahu bagaimana tatakrama berhubungan dengan Tuhan dan dengan sesama manusia.

Jika di satu keluarga ada orangtua yang tak memberi ruang pada anaknya untuk bernafas, maka di atap lain juga ada orangtua yang malah memberikan ruang sebebas-bebasnya untuk anak mereka. Orangtuanya sibuk bekerja sedang anaknya dilimpahi uang yang banyak. Orangtua tak pelit menggelontorkan dana jutaan rupiah ntuk membelikan gadget anaknya yang masih mengenyam bangku di sekolah dasar. Mereka tidak peduli jika hari-hari anaknya hanya habis dengan bermain gadget, bahkan mereka seolah berlomba-lomba agar bisa memiliki gedget yang keluaran terbaru.

Sungguh sebuah ketimpangan yang sedang melanda desa mereka. Kini sedikit sekali anak kecil dan anak muda yang tampak meramaiakan masjid dengan suara lengkingan mereka untuk mengeja huruf hijaiyah. Yang ada kini masjid dan langgar yang dibangun megah itu, setiap harinya hanya dihuni oleh beberapa orang yang sudah lanjut usia dengan wajah yang sama.

**
Suara merdu rekaman Syekh Misyari Rasyid yang membaca murota’al Surat Ar-Rahman telah mengalun dari speaker masjid. Dalam waktu lima belas menit yang akan datang, toa itu pasti akan mengumandangkan adzan maghrib. Hati Ahmad resah tak karuan, karena sungguh ia sudah sangat ingin berangkat ke masjid. Kata bapak yang menirukan ucapan mbah Ripin, seseorang yang menunggu datangnya waktu sholat dan dalam keadaan berwudhu, ia akan didoakan dan dimohonkan ampun oleh malaikat. Ahmad sangat menyayangkan jika harus kehilangan kesempatan berharga itu.

”Ah, ini semua gara-gara sajadah kesayangan bapak itu.” Gerutu Ahmad dalam hati. Ia merasa hilangnya sajadah laksana petaka baginya.

Sajadah kesayangan bapak itu selama ini ibu-lah yang mengurus dan merawatnya. Sebulan sekali sajadah hijau tua itu dicuci, ibu yang menjemur dan ibu pula yang melipat kemudian menaruhnya di kotak yang disiapkan khusus untuk menyimpan peralatan sholat. Ahmad dan bapak hars mencarinya sendiri karena siang tadi ibu dijemput Pakdhe pulang ke kampung halamannya, sebab kesehatan mbah putri memburuk. Ibu akan menginap di sana beberapa malam, sedang Ahmad dan bapak akan menyusulnya Sabtu lusa sepulang Ahmad dari sekolah.

Mengingat ibu, Ahmad jadi kepikiran untuk menelponnya. Ahmad sedikit merutuki keterlambatan itu, kenapa tidak dari tadi menanyakan hal itu pada ibu, barangkali ibu masih ingat sajadah itu ditaruh dimana. Ah, dalam keadaan panik, memang seringkali pikiran buntu dan tak bisa berpikir jernih.

Dari kamar bapak, Ahmad berjalan cepat-cepat menuju ruang tamu, dan di sana ia melihat bapak baru saja meletakkan gagang telpon.

”Ayo cepat berangkat, Le.” Ahmad melihat carut di wajah bapak sudah terang.

”Ke mana, Pak?”

”Ke masjid. Memangnya mau kemana lagi?”

”Sajadahnya sudah ketemu ?”

”Sajadahnya terbawa ibumu, tadi dia tak sadar memasukkan ke dalam tas bajunya.”

”Jadi bapak baru saja telponan sama ibu?”

Bapak mengangguk lalu menarik sajadah hijau berwarna hijau muda diantara tumpukan baju tatanannya yang sudah mulai berantakan. Ahmad menirukan dengan menarik sajadah lainnya. Mereka segera berangkat ke masjid. Ada sebentuk kebahagiaan menyeruak di dalam hati Ahmad. Kata bapak yang masih menirukan perkataan kakek, laki-laki sholat jama’ah di masjid lebih utama dari sholat di rumah. (*)

*Cerpen sederhana ini termuat di tabloid ApakabarPlus
Yesi Armand Sha

8/11/2020

Alysa dan Lelaki dalam Teng Teng




Laki-laki itu melihat Alysa berdiri diantara barisan rapi penumpang masuk Teng Teng. Tak banyak penumpang di dalam kereta listrik yang lintas relnya di tengah itu. Alysa menaiki beberapa tangga menuju dek atas. Laki-laki itu duduk berjarak lima kursi di belakang Alysa. Dan gadis berwajah bulat telur itu tak tahu jika sedari tadi dirinya diikuti oleh seseorang.

Ponsel di tangannya bergetar. Tak diangkat. Dua jam yang lalu, hati gadis berlesung pipit itu dipenuhi kebahagiaan. Namun aroma kebahagiaan itu menguar setelah ia mendapat panggilan masuk dari orang yang saat ini menghubunginya. Mbak Umi.

Sejak awal mbak Umi tak suka melihat Alysa dekat dengan Zad. Lelaki asal Negeri Kangguru yang mualaf empat tahun lalu. Apapun hal baik tentang Zad yang Alysa ceritakan pada mbak Umi tak pernah mendapat respon baik.

”Kenapa mbak selalu berpikiran negatif pada Zad? Bukankah kita dilarang su’udzon mbak?”

”Bukan su’udzon. Aku hanya mengingatkanmu agar lebih hati-hati, Sa.”

Alysa tak mengerti kenapa mbak Umi selalu menaruh curiga pada Zad. Lelaki bertubuh jangkung itu banyak mengalami perubahan menjadi lebih baik. Setiap hari Zad tak penah absen bertanya pada Alysa perihal agama yang baru dipeluknya itu melalui WA.

”Apa mbak Umi juga mencurigai Zad saat kita bertemu dia di masjid Wanchai?”

Alysa mengingatkan mbak Umi tentang pertemuan mereka dengan Zad setiap minggu di lantai dasar masjid Ammar Wanchai. Mbak Umi sebenarnya tahu lelaki berkulit putih itu belajar Islam dan belajar membaca huruf Hijaiyah di masjid yang merupakan simbol kekuatan syiar Islam di daerah yang disebut Red Zone oleh penduduk Hong Kong itu. Namun mbak Umi meragukan sorot yang terpancar dari mata biru lelaki itu.

”Aku tidak yakin, Sa.”

Mbak Umi masih tak percaya Zad. Teman yang dianggap Alysa sebagai kakak itu malah mengenalkan Alysa pada Hanif. Keponakannya yang bekerja di sebuah perusahaan finansial di Indonesia.

”Agamanya bagus, Sudah mapan dan dia sangat menyayangi keluarganya. Kalian cocok jika bersama.” Mbak Umi berharap Hanif bisa mengganti sosok Zad di hidup Alysa.

”Terimakasih mbak. Tapi ini kehidupanku. Aku yang memutuskan dan menjalaninya.’’

Alysa mulai tak suka kehidupan pribadinya dicampuri orang lain. Walau sebenarnya gadis itu tahu mbak Umi melakukan hal tersebut didorong oleh rasa khawatir. Alysa sudah banyak mendengar tentang gadis-gadis Indonesia yang bekerja di Negeri Beton memiliki cerita menyedihkan setelah mengenal laki-laki asing.

Gadis-gadis manis dan polos itu tergoda rayuan manis laki-laki berkulit putih. Setelah sang bule berhasil menjerat hati sang gadis, mereka menikahinya. Jika bule itu baik dan bertanggung jawab, mereka hidup bahagia. Namun jika nasib gadis tak beruntung, beberapa tahun setelah menikah, bule itu akan meninggalkan sang gadis yang sudah menjadi istrinya.

Selama menjadi istri bule, kebanyakan gadis itu lupa niat awal bekerja ke Negeri Beton. Mereka lupa keluarga dan uang gaji tiap bulan dihabiskan bersama suaminya. Jika gadis itu masih sadar, mereka akan menyesali dan memulai hidup baru dari awal. Namun jika luka yang tertoreh di hatinya sangat dalam, tak sedikit yang memilih hidup overstay. Kehidupannya dipenuhi keputusasaan. Mereka terjerat dalam dunia kelam. Mengenal minuman keras dan narkoba. Mbak umi tak ingin Alysa menjadi salah satu gadis dari golongan kedua.

Tak ada yang tahu jika selama ini Zad menyukai Alysa. Dari pembicaraan yang sering ditanyakan di WA, Zad tahu Alysa bukan gadis seperti umumnya. Gadis berhati lembut itu memegang teguh prinsip untuk tidak mau pacaran. Jika saling mencintai, maka menikah lebih utama. Tulis Alysa selalu dalam pesannya pada Zad.

”Keputusanmu terlalu cepat, Sa. Kamu belum benar-benar mengetahui dia yang sesungguhnya.”

Mbak Umi kaget ketika mendengar kabar Zad ingin mengkhitbah Alysa.

”Kurasa empat tahun bukan waktu yang singkat mbak.”

”Apa kamu sudah memberitahu keluargamu tentang hal ini?”

”Aku akan memberitahukan nanti.”

Mbak umi geleng-geleng kepala. Bagaimana bisa hal besar yang akan menentukan kehidupan Alysa ke belakang nanti, justru tak didiskusikan terlebih dahulu dengan keluarganya.

**
Teng Teng Teng Teng

Kendaraan itu bernama Tramways. Dalam bahasa kantonis disebut Tin Che. Namun tak sedikit orang yang menyebutnya Teng Teng. Hal itu dikarenakan bunyi bel-nya yang sedemikian rupa. Dan kini bel itu telah berbunyi yang kesekian kalinya. Banyak halte telah dilewati. Wajah-wajah berbeda penumpang turun dan masuk bergantian memenuhi kereta listrik yang hanya ada di daerah Hong Kong Island itu.

Susah payah seorang wanita paruh baya yang membawa beberapa tas belanjaan sampai di dek atas. Perempuan gendut itu menoleh kesana kemari namun mata sipitnya tak menemukan kursi kosong. Laki-laki itu berdiri. Dengan bahasa isyarat ia menyuruh perempuan itu duduk di tempatnya. Laki-laki itu berdiri sedikit ke belakang. Matanya masih tetap menatap Alysa.

Alysa mendekatkan wajah bulat telurnya ke jendela yang daun pintunya hanya separuh. Angin sore bebas menyapu setiap inci wajah bulatnya dan mengerak-gerakkan ujung jilbabnya. Ponselnya bergetar lagi. Dari orang yang sangat mengkhawatirkannya. Mbak Umi.

Awalnya semua baik-baik saja. Dua jam yang lalu Zad menelpon Alysa dan meminta dengan sedikit memaksa agar bersedia makan malam di rumahnya. Zad ingin mengenalkan Alysa pada ayahnya. Alysa mengiyakan. Hati gadis berlesung pipit itu dipenuhi kebahagiaan. Namun aroma kebahagiaan itu menguar setelah ia mendapat panggilan masuk dari orang yang saat ini mengkhawatirkannya. Mbak Umi.

Kali ini kamu harus percaya, Sa!

Suara mbak Umi sungguh-sungguh di ujung telpon.

Mbak ngomongin apa sih? Alysa tak mengerti.

Aku sudah mengirimkan fotonya di WA. Kamu lihat sendiri.

”Apa maksud ini semua? Bagaimana Mbak Umi melakukan ini. Darimana ia mendapatkannya.”

Rupanya Alysa tidak tahu jika beberapa minggu belakangan mbak Umi sibuk mencari informasi tentang Zad. Diam-diam mbak Umi pergi ke lokasi yang kemungkinan didatangi Zad. Alysa tidak tahu jika beberapa minggu mbak Umi tak mau makan malam dengannya itu, bukan lantaran marah karena Alsa tak pernah mendengar nasehatnya. Namun setelah mereka bertemu dengan Zad di lantai dasar masjid Wanchai, mbak Umi diam-diam mengikuti laki-laki itu.

Alysa tak ingin percaya. Namun foto-foto berikutnya mengungkap kebenaran yang tak dapat dipungkiri. Laki-laki memakai jaket hitam yang tangannya merangkul wanita memakai tank top dan rok mini, laki-laki yang meminum segelas besar bir, juga laki-laki di lembar foto lainnya yang tengah menari-nari mengikuti kerlap-kerlip lampu bioskop itu Zad.


**
Teng Teng berhenti di halte depan library Causeway Bay. Sebuah perpustakaan terbesar yang ada di pusat kota Hong Kong. Laki-laki itu melihat Alysa beranjak dari kursinya. Menuruni beberapa tangga, menempelkan kartu octopus di mesin pembayaran. Setelah bunyi Tut dari mesin terdengar, Alysa keluar dari pintu depan tempat penumpang turun. Laki-laki itu melakukan hal yang sama.
Berdesakan penumpang turun. Lampu merah di kiri dan kanan halte masih menyala. Alysa tak sabar untuk segera menyeberangi jalanan itu. Begitu Teng Teng yang baru saja ia naiki berjalan, kakinya melangkah hendak menerobos lampu merah.

”Alysaa…!!” Laki-laki yang mengikuti Alysa itu berteriak dan menyeretnya ke belakang. Tubuhnya terpental. Hampir saja Alysa jatuh.

”Apa kau tak melihat lampu itu?!” Laki-laki itu memarahinya.

Semua orang memandang Alysa aneh. Beberapa penduduk lokal mengomel dan memarahinya karena sembrono. Alysa tidak tahu jika dari arah berlawanan ada Teng Teng melaju yang tidak terlihat karena tertutup Teng Teng yang baru saja dinaikinya.

”Maaf.” Alysa menyesal.

”Apa kau baik-baik saja?’’

Laki-laki jangkung berkulit putih itu berbahasa Indonesia.

”Tadi kau memanggil namaku. Apa kau mengenaliku?”

Laki-laki itu tak menjawab. Tangannya mengisyaratkan Alysa untuk jalan. Lampu telah berubah hijau.

”Ternyata kau lebih cantik daripada di foto.’’

”Apa kau mengenaliku?” Alysa mengulang pertanyaannya ketika mereka sampai di seberang.

”Senang bertemu denganmu. Aku Hanif.”

Alysa memutar kedua bola matanya. Mengingat-ingat nama yang akrab di telinganya itu.

”Hanif. Apa kamu keponakannya mbak Umi?”

Laki-laki itu mengangguk.”Bulek banyak bercerita tentangmu.”

Alysa mengernyitkan dahi.”Seberapa banyak mbak Umi bercerita?”

”Dulu bulek pernah mengalami. Seorang bule mualaf asal New Zealand menikahinya. Ketika kepulangan mereka ke Indonesia, bulek rela meminjam uang puluhan ribu dolar Hong Kong di bank. Tapi beberapa tahun selepas itu, bulek ditinggalkan begitu saja. Tak ada kabar sama sekali dari suaminya. Semua akses untuk menghubunginya terputus. Pengalaman itulah yang membuat bulek bersikeras memaksaku ke sini. Hanya untuk menemuimu.”

Dua bulir bening melandai di wajah bulatnya. Hatinya kebas. Rasa bersalah, haru dan terima kasih bercampur jadi satu. Aku menyayangimu tulus, Sa. Seperti kakak pada adiknya.Kalimat yang sering mbak Umi ucapkan itu mendengung di telinganya.

Alysa mempercepat langkah menyusuri Victoria Park agar cepat sampai di bawah tenda putih, di tempat mbak Umi kini berada. Dan laki-laki itu masih bersama Alysa. Tak lagi mengikuti namun menjejeri langkah gadis yang membuat hatinya bergetar ketika pertama kali melihat fotonya yang dikirim oleh buleknya. (*)

*Cerpen sederhana ini pernah termuat di tabloid ApakabarPlus-HK.
Yesi Armand Sha

8/09/2020

Kejutan dari Sarah


Sarah memang penuh kejutan. Setelah mengabaikan panggilanku puluhan kali, ia mengangkat telpon dan langsung berkata bahwa nanti kami akan bertemu di stasiun. Ia juga memintaku untuk tak menghubunginya lagi. Belum sempat kutanyakan ia memakai baju apa, telpon sudah diputus. Setelah itu ponselnya tidak aktif.

Aku menghubungi tante Emma untuk menanyakan foto Sarah. Tujuh tahun sejak Sarah pindah sekolah di Singapura, aku tak pernah bertemu dengannya. Aku khawatir tak mengenalinya lagi. Maka dengan melihat potret Sarah, pasti aku akan langsung tahu jika itu dirinya saat berpapasan nanti. Beberapa menit kemudian balasan dari tante Emma kuterima, tapi membaca isi pesan itu membuatku sedikit kecewa sebab gllery HP-nya hanya menyimpan foto Sarah saat masih kanak-kanak.

Aku tahu hubungan ibu-anak itu tak lagi harmonis sejak om Danu meninggal. Setelah kematian suaminya, tante Emma lebih banyak menghabiskan harinya di kantor daripada menemani anak tunggalnya itu di rumah.

‘’Biarkan Sarah tinggal di rumahku selagi kamu tidak ada, Em.’’ Pinta mama suatu hari sebab tak tega melihatnya.

‘’Di rumah ada bibi yang mengawasinya. Biarkan ia belajar mandiri.’’

‘’Ia juga bisa belajar mandiri di rumahku. Lagi pula tidak hanya bermain, ia juga bisa mengerjakan PR dan belajar bersama Raka. Aku akan mengawasinya. Bukankah begitu kamu bisa bekerja lebih tenang?’’

‘’Aku mau di sini, Ma.’’ Sarah merengek.

Tante Emma menggeleng.

‘’Sarah mau di sini sama tante Anna juga Kai.’’ Rengek Sarah lagi. Ia memasang wajah memelas dan membuat tante Emma terpaksa mengeluarkan kalimat persetujuan.

‘’Baiklah kalau itu yang Sarah inginkan. Tapi ingat, tidak boleh nakal dan membuat repot tante Anna.’’

Sarah mengangguk kegirangan.

Sejak hari itu Sarah sering tinggal di rumah kami yang berjarak beberapa atap dari rumahnya. Jika tante Emma keluar kota, ia akan tidur dengan mama. Kami berangkat dan pulang sekolah bersama. Mama memperlakukan Sarah sama sepertiku. Konon aku tahu, dulu mama ingin sekali memiliki anak perempuan yang manis dan penurut seperti Sarah.

Sarah memang suka membuat kejutan. Seperti hari ini, ia bisa saja naik pesawat dari Singapura langsung turun di bandara Ahmad Yani yang jaraknya lebih dekat dengan kota kami. Tapi nyatanya ia turun di Jakarta, lalu perjalanan ke Semarang ditempuh dengan naik kereta, hingga akhirnya aku-lah yang menjadi tumbal ulahnya itu.

‘’Tolong jemput adikmu ya, Raka.’’ Tanpa pikir panjang aku langsung mengiyakan permintaan tante Emma itu karena jujur aku tak mau terlibat dengan urusan persiapan pernikahan.

**
‘’Kereta dari stasiun Gambir ke Tawang datang Pukul 15.15.’’ Seorang wanita berwajah oval dari balik loket customer service menjawab pertanyaanku.

Aku memeriksa angka pada jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Masih ada sisa waktu dua puluh menit. Kakiku melangkah gontai sedang perasaanku gusar tak karuan. Aku masih bingung bagaimana caranya untuk menghubungi Sarah.

Cukup lama berjalan mondar-mandir tapi akhirnya aku menyerah. Aku duduk di bangku tunggu seperti yang dilakukan oleh beberapa orang di sana. Di bangku itu orang-orang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ada seorang ibu muda terkantuk-kantuk menggendong bayinya yang sudah lelap. Jarak dua kursi darinya seorang gadis mengenakan rok bermotif bunga dan atasan baju warna biru dongker, sedang menekuni deretan huruf dari buku yang dipegangnya.

Masih ada beberapa wanita muda dan orang dewasa yang duduk di sana, tapi aku tak bisa melihat apa yang mereka lakukan. Aku juga tak berniat mencari tahu, karena aku lebih tertarik untuk memerhatikan gadis yang duduk di deretan bangku yang sebaris denganku. Dia duduk di ujung kiri, sedang aku ada di ujung kanan.

Gadis itu mengenakan celana gunung warna hitam, dipadukan kaus putih yang dibalut hem kotak-kotak yang lengannya dilipat sampai siku. Rambutnya yang sebahu dibiarkan tergerai dan sebuah topi yang dipasang terbalik bertengger di atasnya. Gadis itu sepertinya tak terganggu dengan keramaian di stasiun, karena matanya fokus pada buku gambar kecil yang tengah dicoret-coret oleh tangan kanannya. Melihat apa yang tengah dilakukannya, tiba-tiba ide cemerlang untuk menemukan Sarah mampir ke tempurung kepalaku.

**
Suara gambang Semarang mengalun merdu di sudut ruangan, lalu disusul suara petugas melalui pengeras suara yang menginfokan bahwa kereta dari Jakarta hampir tiba. Mendengar itu aku mepraktekkan ideku tadi‒berdiri di dekat pintu penumpang keluar, lalu mengamati setiap penumpang wanita berusia kisaran dua puluhan tahun.

Berjejalan orang berjalan. Riuh suara anak kecil, ketepak sandal, dan suara roda koper kecil yang beradu dengan lantai membuat tempat itu berubah laksana pasar dadakan. Mataku berjelajah memerhatikan penumpang yang keluar satu per satu.

Cukup lama berdiri, tapi aku belum menemukan Sarah. Sebenarnya ada beberapa gadis yang kusapa, tapi diantara mereka tak ada yang mengaku bernama Sarah. Lama menunggu. Bau keringat orang-orang mulai hilang dan tempat itu menjadi lengang, tapi tak ada lagi sosok yang melewati pintu keluar selain petugas stasiun yang menatapku aneh.

Hatiku cemas. Tak mungkin aku pulang tanpa membawa Sarah karena melakukan itu sama saja dengan memancing amarah singa. Aku malas jika harus berhadapan dengan papa. Sudah hampir satu minggu ini aku enggan bertatap muka dengannya. Jika kami kebetulan sama-sama di rumah, aku lebih betah berdiam dalam kamar menghadapi kertas dan rancangan-rancangan yang kubuat untuk tugas kuliah .

Berkali-kali mataku melesat ke arah pintu keluar. Jari-jariku bertaut satu sama lain. Aku membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana jika Sarah ternyata sudah keluar lalu dijadikan bahan rebutan oleh para sopir taksi, sopir angkot dan sopir becak agar mau menggunakan jasa mereka. Bagaimana jika Sarah menurut lalu sopir itu memeras uang dan perhiasannya. Lalu bagaimana jika Sarah menolak memberikan lalu orang-orang itu melukai Sarah. Ah, aku pusing memikirkannya.

Sarah sudah besar, ia bisa menjaga dirinya sendiri.

Aku menasehati diriku sendiri untuk tak buru-buru terprovokasi dengan asumsi yang kubuat sendiri.

‘’Kai.’’

Langkahku terhenti ketika berjalan melewati bangku tunggu dan hendak menuju customer service lagi. Aku seperti mengenali panggilan itu.

‘’Kai.’’

Aku berhasil mengingat. Kai adalah kata pertama dan kedua dari nama Raka Inggil Prambudi yang disingkat. Ya, benar. Meski sudah lama sekali tak mendengar, tapi aku masih bisa mengingatnya dengan baik. Dan orang yang memanggiku seperti itu hanyalah Sarah.

‘’Kai.’’

Suara itu diulang tiga kali. Aku menoleh dan kedua bola mataku cepat menemukan sosok gadis bertopi terbalik dan memakai celana gunung .

‘’Kamu…’’ Suaraku tertahan, sengaja membiarkan gadis itu mengungkap siapa dirinya.

‘’Sarah.’’

‘’Ini kamu, Sarah?’’ Sebisa mungkin mataku mengamati tiap inchi wajah di depanku itu. Tapi sedikitpun tak ada sisa wajah kecilnya yang kukenali dari wajah yang mulai dewasa itu.

Gadis itu meletakkan jari telunjuknya di atas hidung lalu menjulurkan lidah. Aku baru percaya jika ucapannya benar karena gerakan itu adalah hal yang sering kami lakukan di waktu kecil untuk saling mengejek.

‘’Kamu sudah di sini sejak lama, kan? Sebenarnya apa yang terjadi, hah?’’ tanyaku penuh kekhawatiran.

‘’Aku sudah mengenalimu sejak kau masuk.’’

‘’Lalu kenapa tak menyapaku? HP-mu juga nggak aktif?’’

Sarah menyodorkan buku gambarnya yang ketika halaman itu kubuka satu per satu tampak penuh dengan sketsa bangunan beserta aktivitas orang-orang di stasiun ini. Lalu, ketika tanganku sampai di lembar yang terakhir, aku melihat sebuah sketsa wajah laki-laki yang tengah mencuri pandang ke arahnya. Melihat itu sekonyong-konyong membuatku ingin tersedak. Laki- laki itu memiliki wajah oval dengan sedikit bulu di dagunya. Melhat ciri-cirinya, aku yakin bahwa laki-laki itu adalah orang yang tengah menahan malu yang kini berdiri di depannya.

‘’Jadi kamu tahu?’’

Ia terkekeh. Mengejek.

‘’Jadwal keretamu baru tiba beberapa menit yang lalu, tapi kau sudah di sini sejak lama. Sebenarnya apa yang terjadi?’’ Aku mengulang pertanyaan dengan tujuan mengalihkan pembicaraan.

‘’Aku naik kereta malam.’’

Lagi-lagi, Sarah memang penuh kejutan. Ia tak memberitahu siapapun tentang perubahan jadwal perjalanannya.

‘’Jadi kamu hampir seharian di sini? Kamu salah beli tiket? Kenapa tak memberitahu siapapun? Aku kan bisa menjemputmu lebih awal?’’

‘’Pertanyaanmu banyak sekali. Aku harus menjawab yang mana dulu?’’ jawabnya santai seolah tak mempedulikan kecemasanku.

‘’Tak ada yang perlu kau jawab. Sekarang ayo pulang.’’

‘’Pulang?’’Sarah tertawa hambar,”Pernikahan itu, apa kau menyetujuinya?’’

’’Setuju atau tidak, apakah akan ada yang berubah?’’ Dadaku sesak.

Sarah diam. Aku pun demikian. Hening untuk beberapa saat lamanya.

‘’Aku sudah memikirkan ini cukup lama. Berikan kunci mobil dan ponselmu.’’ Sarah mematikan ponselku kemudian gegas menuju parkiran dan bodohnya aku menurut saja.

‘’Aku sering bertanya-tanya, sebenarnya apa yang dipikirkan orang dewasa.’’ Sarah duduk di belakang setir. Ia menyuruhku tidur di jok sebelahnya. Aku tak tahu kapan Sarah bisa menyetir, aku juga tak tahu kapan ia mengenali daerah ini dan aku juga tak tahu apa yang tengah direncanakan Sarah. Hanya saja yang aku tahu, besok adalah hari yang dipilih papa dan tante Emma untuk menikah. Mungkin nanti malam mereka akan kebingungan dan lapor polisi perihal hilangnya aku dan Sarah. Ah, iya aku lupa satu hal. Sarah bilang akan membangunkanku begitu kami tiba di tempat yang tak bisa ditemukan tante Emma dan papa. Mendengar kata-kata Sarah itu membuatku rindu akan senyum hangat seorang wanita yang bertahun-tahun tak pernah kulihat dan kini aku tak tahu dimana ia berada. Aku merindukan mama. (*)

*Cerpen ini pernah termuat di tabloid ApakabarPlus-HK.
Powered by Blogger.
yesiarmand © . All Right Reserved. DESIGN BY Sadaf F K.