Kopi dalam cangkir ungu dan sepiring besar nasi goreng udang telah aku siapkan di meja makan. Aku juga sudah menyuruh mas Yas keluar dari kamarnya agar segera menandaskan sarapan kegemarannya itu sebelum dingin. Saat mengetuk pintu tadi, tak ada sahutan dari dalam. Lima menit menunggu tak ada suara langkah mendekati pintu, aku memutuskan kembali ke kamar tidur. Hanya ingin kujelaskan, sejak Gilang liburan di rumah Emma, kami tidur beda kamar. Aku menempati kamar kami, sedang Mas Yas tidur di kamar tamu.
Suara hujan di luar mengiringi tanganku memasukkan baju ke dalam koper besar berwarna ungu yang semalam kusiapkan. Pagi ini menjadi hari berpisah bagi kami. Tak ada alasan lagi untuk tinggal. Semua telah ditentukan sejak dua belas tahun lalu. Aku ingat bagaimana awal mula perpisahan ini dimulai.
Malam itu hujan deras di bulan Januari...
‘’Maafkan aku Aluna. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.’’
‘’Kenapa?’’ Aku kaget sebab kukira rumah tangga kami baik-baik saja.
Mas Yas mengeluarkan selembar kertas yang telah dibubuhi tanda tangannya.
‘’Cerai?’’ Ada sesak yang tiba-tiba mengembang di dalam dada.
‘’Apakah selama ini Luna belum bisa menjadi istri yang baik?’’ Suaraku bergetar.
‘’Kamu sudah sangat baik, Luna. Justru aku yang tak pantas menerima kebaikan itu.’’
‘’Bukankah sudah semestinya sepasang suami istri saling berbagi kebaikan?’’
Aku lupa. Seharusnya saat itu aku sadar jika Mas Yas tak pernah menganggap aku sebagai wanitanya. Pernikahan kami tak didasari oleh cinta. Kebaikan-kebaikan Mas Yas tak lain karena aku telah melahirkan dan merawat Gilang, darah dagingnya.
‘’Viona mencariku.’’
Mendengar nama yang tak asing itu, reflek membuatku mundur beberapa langkah. Tanpa sadar selembar surat yang berada di tangan kujatuhkan. Aku kehilangan kata-kata. Mendadak seluruh persendianku terasa ngilu.
**
Mungkin inilah yang dinamakan hidup tapi tak merasa hidup. Selama dua belas tahun aku seolah menjadi penghuni tetap sebuah ruangan di dalam penjara. Bukan fisikku yang dikurung dalam sel besi berhawa dingin itu, melainkan hati dan batinku yang dikungkung oleh rasa bersalah. Dan aku sepenuhnya sadar, mungkin itu yang dinamakan karma karena telah membalas kebaikan-kebaikan Aluna dengan air tuba.
Dinding pertahananku kala itu sudah tak mampu berdiri dengan kokoh. Dan akhirnya aku menuruti apa kata Viona. Aku mengatakan kejujuran pada Aluna karena bagaimanapun juga menyembunyikan hal itu lebih lama hanya akan membuat ia semakin tersakiti.
Raut Aluna pias karena melihat surat yang kubawa. Lalu wajah itu berubah pasi ketika aku menyebut nama Viona. Saat itu jika saja tanganku tak reflek menangkap kertas yang dipegangnya, sudah pasti surat cerai itu jatuh ke dalam panci berisi gulai kambing kesukaanku yang dimasakknya sebagai menu makan malam kami.
Tak pernah sebelumnya terbayangkan di benakku jika pembicaraan yang tak selesai malam itu menyisakan perih di hati Aluna. Berhari-hari perempuan berwajah panjang dengan hidung mungil itu lebih banyak diam. Tak terlihat lagi wajah riangnya seperti biasa yang membuat ramai rumah kami. Setelah mengurus Gilang, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan memandangi jendela kaca yang menghadap ke kebun bunga mawar di depan rumah kami.
‘’Apakah Mas sudah memikirkannya dengan matang ?’’ Di hari ketujuh Aluna membuka suara.
Aku menoleh. Pandangan kami bertaut. Sejenak aku bisa melihat wajahnya serupa mawar layu yang disirami hujan deras siang dan malam selama bulan Januari itu.
‘’Ya,’’ jawabku lirih.
‘’Tidak bisakah mencari jalan keluar selain perpisahan?’’
Aku menarik napas panjang. Mulutku seakan terkunci. Hanya suara TV di depan kami yang seolah-olah menjawab pertanyaan Aluna.
‘’Apakah tidak ada jalan lain selain perpisahan?’ Aluna mengulang pertanyaan.
‘’Jujur sudah lama sekali aku memikirkan ini, dan berpisah hanya satu-satunya jalan.’’
‘’Gilang masih terlalu kecil. Ia masih membutuhkan sosok seorang ayah. Tolong tunggulah sampai ia besar. Setidaknya sampai lulus SMP.’’ Dalam hitungan detik kulihat mata besarnya yang telah berubah sipit kembali menjatuhkan butiran-butiran bening.
Melihat Aluna tergugu, aku jadi teringat ibu yang menangis, memohon agar gugatan cerai yang telah bapak ajukan ke pengadilan agama dicabut.
**
Aku sering mendengar tentang Viona dari cerita-cerita ibu mertua. Mungkin membiarkan Mas Yas pergi ke sisi perempuan itu akan membuatnya bahagia. Tapi aku tak bisa melakukannya. Aku bahkan juga tak peduli dengan kata-kata Emma yang menganggap aku sebagai perempuan bodoh.
‘’Mbak ini kok rela banget menanggung beban batin. Sudah jelas-jelas dia tak mencintai Mbak, kenapa masih mengharapkannya?’’ Emma geregetan ketika suatu hari aku ngobrol dengannya.
‘’Kadang cinta bukan melulu tentang hal yang bahagia. Tapi cinta juga tentang pengorbanan, ketulusan dan keikhlasan,’’ Aku menghela napas sejenak,’’Aku selalu berdoa agar Tuhan menurunkan keajaiban.’’
‘’Keajaiban?’’ Emma tertawa hambar,’’Mbak, diluar sana masih ada Mas Adam, Mas Ridho dan Mas Arif yang menunggu Mbak. Mereka lebih baik dari Mas Yas. Mbak berhak bahagia dengan salah satu dari mereka. Untuk apa mempertahankan pernikahan yang sudah pasti akan berakhir?’’
Entah sudah berapa puluh kali kalimat serupa mengalir dari mulut Emma. Kadang aku sampai kasihan melihat adik yang menjadi satu-satunya tempatku cerita itu marah-marah karena nasehatnya tak pernah kupakai. Aku maklum dengan kemarahannya. Sebagai sesama wanita, aku yakin dia juga ingin melihat aku bahagia, dicintai lelakiku.
‘’Aku pikir menuruti cemburu dan sakit hati lalu memilih berpisah bukan keputusan yang dewasa. Tiga atau empat tahun setelah cerai mungkin akan menyembuhkan lukaku, tapi bagaimana dengan luka Gilang? Aku tahu orang dewasa berhak menentukan pilihannya sendiri, tapi perceraian bukan semata-mata urusan dua orang dewasa. Kukira tidak adil jika anak yang tak bersalah harus menjadi korbannya. Aku tidak ingin ada anak yang menangis karena perpisahan orangtuanya.’’
‘’Tapi pernikahan itu sudah pasti akan berakhir. Bukankah sekarang atau nanti akan sama saja?’’
‘’Walau bagaimanapun aku berharap perpisahan tak pernah ada. Jikalaupun terjadi, kurasa Gilang pelan-pelan akan mengerti. Waktu akan membawanya menjadi dewasa.’’
**
Nasi goreng udang di atas piring putih besar sudah dingin. Kopi yang aromanya telah hilang pun tak membangkitkan selera. Entah kenapa sejak kemarin aku tak memiliki nafsu makan. Apapun yang kumasukkan ke dalam mulut rasanya hambar.
Jemariku memainkan pegangan cangkir. Aku yakin sejak hari pertama hingga saat ini Aluna tak pernah tahu asal muasal cangkir ungu yang tiap pagi ia gunakan untuk menyeduh kopi buatku. Cangkir bermotif bunga besar-besar itu pilihan Viona yang dibelinya berpasangan dengan milikku. Kata Viona, warna ungu memiliki filosofi yang sangat dalam. Orang yang menyukai warna ungu artinya tidak pernah ragu-ragu menghadapi masa depan.
‘’Anak laki-laki harus kuat.’’ Kata Viona ketika kami pertama kali bertemu.
‘’Kesedihan itu tak pernah ada. Manusia sendirilah yang menciptakannya. Memilih gelisah, bersedih hingga membuat segala sesuatu yang harusnya mudah menjadi runyam.’’
Aku takjub dengan perkataan-perkataan Viona yang seperti orang dewasa. Perlahan aku mulai belajar berpikir sepertinya, membuang kesedihan dan menciptakan hari-hari bahagia. Viona yang ceria, tangguh dan pantang menangis laksana obat mujarab yang menyembuhkan lukaku pasca perceraian ibu dan bapak. Viona selalu ada. Ia menghibur, tersenyum dan membuat hariku selalu hangat.
Viona bagai malaikat. Ia tak memiliki cacat. Bahkan setelah membuat hatiku hancur berkeping-keping lantaran suatu hari ia pergi dengan laki-laki yang baru dikenalnya.
‘’Melihatnya seperti melihat diriku dalam sosok lain. Maafkan aku Yas. Kukira diakhiri sekarang lebih baik daripada nanti akan membuat kita sama-sama tersakiti.’’
Viona meninggalkan aku dan rencana-rencana yang telah kami susun untuk menikah. Lalu setelah bertahun-tahun pergi, ia kembali saat aku sudah menikah dengan Aluna dan kami dikaruniai Gilang. Viona mencariku. Ia menangis dan aku tak tega melihat air mata orang yang sangat kukasihi itu jatuh.
Tiiiiin Tiiinn...!!
Suara taksi yang berhenti di depan rumah membuyarkan lamunanku. Tak berapa lama Aluna keluar kamar membawa kopernya.
‘’Luna pulang, Mas.’’ Ia mendekat. Aku pasrah ketika tanganku diraih lalu ditempelkan di dahinya.
‘’Di kulkas ada gulai kambing dan soto ayam, Mas hanya perlu memanasi saja nanti.’’
Aku tak pernah paham apa yang dipikirkan Aluna. Kenapa ia masih selalu saja bersikap baik. Selama dua belas tahun belum sekalipun aku melihat ia bermuka masam. Selama dua belas tahun itu Aluna selalu merawat rumah dengan baik. Menghangatkan meja makan kami dengan masakannya yang enak. Menyiapkan baju bersih untukku, dan setiap pagi mengantarkan aku menuju pintu, lantas menempelkan punggung tanganku di dahinya. Aluna selalu melepas aku berangkat kerja dengan senyum lembut yang terbingkai dari wajahnya yang ramah, pun ketika aku pulang.
Kebaikan-kebaikannya yang tak pernah berhenti membuat aku sering merasa bersalah. Seharusnya seperti pagi ini, ia bisa saja meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan dan tak usah memikirkan aku makan apa. Aluna bahkan berhak marah atas semua sikap pengecut yang telah kulakukan padanya.
‘’Nanti kalau ada apa-apa, jangan sungkan telpon Luna.’’
‘’Luna.’’
Ia berhenti. Menoleh.
‘’Jika saja kamu lebih dulu hadir dalah hidupku, pasti aku akan mencintaimu selamanya. Maafkan aku.’’ Tiba-tiba kalimat yang telah lama menghuni lubuk hatiku keluar begitu saja.
‘’Tidak ada yang salah Mas. Cinta memang tidak bisa dipaksa, tapi berada di sisi Mas seperti selama ini sudah cukup membuat Luna bahagia. Belum pernah sekalipun Luna merasakan kebahagiaan semacam ini,’’ Aluna berhenti sejenak,’’Juga terimakasih karena Mas sudah bersedia mengabulkan permohonan Luna untuk menundanya sampai hari ini. Andai perpisahan itu terjadi dua belas tahun lalu, Luna pasti tak bisa memafkan diri Luna sendiri jika dikemudian hari Gilang depresi atau terjadi sesuatu dengannya.’’ Perkataan Aluna seolah membawa ingatanku terbang kembali ke masa kecil.
‘’Tapi bagaimana kita harus menjelaskan pada Gilang tentang hari ini?’’
‘’Gilang sudah besar, dia akan mengerti. Luna pulang, Mas.’’ Aluna melangkah menjauh, meyisakan suara roda kopernya yang beradu dengan lantai. Semakin jauh, suara itu terdengar semakin keras menyusup ke dalam lubang telingaku, lalu menjalar ke seluruh syaraf-syaraf di kepalaku dan berhenti tepat di dada.
Aku masih bergumul dengan rasa yang tak kuketahui apa namanya itu. Rasa sedih dan kehilangan seolah bercampur menjadi satu lantas berputar-putar di atas kepalaku. Aku bingung, entah apa yang harus kuperbuat dan pada akhirnya yang kulihat hanya hujan yang menyambut Aluna begitu ia keluar dari pagar. Lalu sopir taksi turun membantunya membawakan koper dan menaruh di bagasi belakang. Tak berapa lama terdengar suara pintu mobil ditutup disusul deru kendaraan itu.
**
‘’Luna... Luna...’’
Taksi yang dinaiki Aluna sudah sampai di belokan kompleks perumahan kami. Aku berlari menembus hujan mengejar mobil biru muda itu. Napasku tersenggal-senggal. Entah Aluna yang menoleh ke belakang atau sopir itu yang melihatku berlari dari kaca spion, yang jelas mobil itu bergerak memelan lantas berhenti di pinggir jalan.
‘’Mas Yas.’’ Aluna turun dari mobil. Melebarkan payung. Rautnya menyiratkan tanya.
Aku menarik tubuh Aluna ke pelukanku. Aku baru sadar itu adalah pelukan pertama kami setelah entah berapa tahun kami tak melakukannya. Perihku semakin menjalari hati saat aku menyadari tubuh Aluna semakin kurus. Baju kebesaran yang dikenakannya hanya membalut tulang belulang. Pipinya tyrus dengan mata yang cekung.
‘’Maafkan aku Luna. Maafkan.’’ Mataku memanas. Sesenggukan aku di pundaknya.
‘’Mas kenapa?’’
Aluna masih bingung melihat tingkahku. Ia tidak tahu jika kopi buatannya telah kutuang ke dalam wastafel dan cangkir ungu sudah kubuang ke dalam tempat sampah. Kisah lalu memang manis untuk diulang, tapi aku percaya jika Tuhan selalu menghadirkan orang yang tepat untuk berada di sisi kita. Dan, perempun setia dan berhati lembut itulah yang Tuhan kirimkan untukku. Aluna, hatiku mantap memilihnya.(*)
*Yesi Armand Sha
Sesak nafas aku membacanya. perasaan aneh menyelimuti saat membaca mas yas memeluk kembali aluna, air mata juga mulai membuat aliran kecil di sudut mataku, mungkin aku larut dalam khayalan itu karena rindu yang belum usai . hiksss
ReplyDeletemaafkeun saya karena sudah membuatmu menangis, kakak hehe
DeleteSaya senang dengan judulnya, unik. Pas baca suka dengan penggambaran situasinya yang bisa membuat pembaca ikut merasakan kejadian tersebut. Pas baca tulisan di ending cerita, oh pantas saja keren. Tulisannya menang juara 3. Mantap betul.
ReplyDeleteMaturnuwun sudah membaca kaka :)
DeleteSaya terhanyut dengan ceritanya, jd ingat sama mantan hehe
ReplyDeleteSelamat n sukses ya juara 🙏😀
Mantan yang harus dihempaskan ya kak hhe
DeleteMasyaAllah.. Selamay untuk prestasinya mbak. Cerpennya bagus. Emang ya, cerpen ini banyak terjadi di realita. LAki-laki mah suka gitu pas mantan dateng eh lupa ma istri yang padahal lebih baik dari si mantan. Syukur belum terlambat.
ReplyDeleteIya kak. Ga tahu sama maklhuk yang satu itu hhe
DeleteSayang ya Aluna udah kurus karena mungkin menahan rasa sedih suaminya mau menceraikan, huhu... Luna istri salehah, perhiasan dunia. Gilang akan jadi orang terbodoh di dunia jika melepasnya demi Viona yg tak pasti itu. Nice story Mba Yesi
ReplyDeleteAluna nya ngenes kak wkk
DeleteIkut sedihhh. Jadi kepikiran gimana kalo aku jadi Aluna. Ini based on true story kah mba? Berasa ada nyawanya gitu cerpen ini. Anyway, selamat mba cerpennya memang pantas jadi juara.
ReplyDeleteBukan mba, hanya fiksi hhe
Deletebased on true story kah kak? sedih ceritanya.. tapi sekaligus gemes sama "mas yas" jadi orang kok senang hidup di masa lalu hehe..bnyk yg suka kek gitu soalnya kak (jadi curcol)..btw keren pantes menang lomba cerpen..ditunggu cerpen lainnya ya kak..
ReplyDeletehanya fiksi kak. Iya begitula mas yas, heran juga akutu hhe
DeleteSekeras apapun batu, tetap bisa hancur dengan kesabaran tetesan demi tetesan air. Hehehe. Bagus euy cerpennya. Sosok Luna ini sabar bangetttttt, seperti ibuku. Hihihi.
ReplyDeleteWahhh beruntung banget ya mba punya ibu seperti itu. Semoga ibunya selalu sehat :)
DeleteSaya pikir tadi endingnya si luna tabrakan rupanya hapy ending...
ReplyDeleteSuka sama koutenya "kesedihan itu tak pernah ada. Manusia sendirilah yang menciptakannya. Memilih gelisah, bersedih hingga membuat segala sesuatu yang harusnya mudah menjadi runyam.’’
Aslinya mau bikin ending ngenes, tapi kok ngga tega hiks. btw makasih kak :)
DeleteSaya baca dari awal sampai akhir jadi hilang. Luruh ke dalam ceritanya mba. Layak memang juara, saya suka banget cara mb menuliskannya. Sukses terus k, ditunggu cerpen lainnya. Ngefans saya.
ReplyDeletehiks terimakasih mb :)
DeleteTak semua orang memiliki hati selembut aluna. Kebayang kalau jadi aluna pasti sudah ambyar pas dikasih surat cerai pertama dulu. Selamat kak, terhanyut akan ceritanya aku
ReplyDeletebetul-betul-betul kak.
Deleteterimakasih ya sudah mampir :)
gemes ya sama Mas Yas. MasyaAllah pantes juara Mbak, saya larut dalam membaca cerpennya
ReplyDeleteSaya juga gemes mba hhe
DeleteNasi gorengnya keburu dingin, udah gak fresh lagi dimakan dong. Wah saya belum bisa nulis cerpen kayak gini. Selamat ya udah meraih juara ,3...
ReplyDeleteBisa dipanasin lagi trus dimakan bareng-bareng hhe
DeleteAlur yang sangat serius. Hm, selamat atas juaranya.
ReplyDeleteTerimakasih mas
DeleteMembaca ini berasa lagi nonton suara hati istri. Terus tiba tiba muncul backsound lagunya Rosa Hati yang Tersakiti bagian reffnya. Bagus mbak ceritanya.
ReplyDeleteOtw nyari lagu rosa hhe
Deletebagus cerpennya. pantas mendapatkan juara. selamat ya..
ReplyDeletematrnwun kaka...
DeleteAlurnya enak, lembut, tapi konflik ceritanya tetap mengena di pembaca. Ditunggu cerpen2 selanjutnya kak
ReplyDeleteInshaa Allah, trmksh sdh mampir kaka...
DeleteDiksi-diksi yang dipilih sangat menyentuh, Mbak. Sudah lama saya tak membaca kata "tergugu" dan "menandaskan". Ceritanya masuk ke hati.
ReplyDeletemtrnwun mas...
DeleteAduh terbawa perasaan aq membacanya. Masa lalu nggak usah dikenang lagi Mas Yas!
ReplyDeleteNah, marahin tuh mas Yas-nya mba hhe
DeleteWaah selamat ya mbak jadi juara ke 3 dalam lomba penerbit young creative publishing.
ReplyDeleteCerpen ini bagus banget, alur ceritanya yang menyentuh namun tidak mengurangi emosi pembaca. Saya sendiri sampai terbawa suasana...
hiks, mtrnwun kang...
Deletecerpennya bagus mbak, alurnya halus tapi jelas,, enak dibaca sampai akhir,,, kapan ya aku bisa bikin cerpen begini,, huhuhuhu
ReplyDeleteMakasih mbak, saya masih belajar jane, ayok bljr bareng :)
DeleteMbaknya pinter deh bikin cerpennya.jadi pingin baca lagi dan lagi cerpen bikinan mbak.
ReplyDeleteMasih belajar kak. Inshaa Allah besok lagi, ini sedang ditulis :)
DeleteCerpennya bagus.. Bikin pengen baca sampai selesai. Pantes deh jadi pemenang lomba...
ReplyDeleteTerimakasih mb sudah membaca sampai habis :)
DeleteSyukurlah hepi ending...sempat was-was yas melepas aluna. Ceritanya bagus, dan bikin penasaran pembaca. Jadi pengen belajar nulis cerpen.
ReplyDeleteAyo belajar bareng-bareng mba. Saya juga amsih belajar :)
DeleteKAAAKKKK>>>>> Bikin Novel cetak dunk.. bagus lho. apalagi membahas tentang pernikahan.
ReplyDeletemantap ceritanya. tersihir dengan kata katanya. banyak cerita ternyata di balik secangkir kopi ungu. btw selamat ya jadi juara ketiga.
ReplyDelete