Empat tujuh… Empat delapan… Empat sembilan… Lima puluh.
Samar-samar suara Umar terdengar dari belakang rumah mbah Sarikem. Dari balik tembok yang terbuat dari anyaman bambu itu, pelan Agung memiringkan kepalanya ke kiri, lalu mengarahkan matanya lurus ke depan. Aman.
Uhuk… Uhuuk…
Tubuh Agung menjingkat. Hatinya kesal sebab baru beberapa menit, persembunyiannya sudah ditemukan Umar. Ia menoleh tapi bernapas lega ketika tahu bahwa suara batuk lemah itu ternyata berasal dari seorang wanita tua yang duduk di atas dingklik kayu kecil di bawah pohon kopi.
”Mbah mengagetkanku saja,” ucap Agung lirih.
”Ngajinya belum mulai?” tanya mbah Sarikem mengabaikan ucapan Agung.
”Belum. Mbah Sardi belum datang.” Agung berjalan mendekati mbah Sarikem sembari menarik ujung kaosnya bagian depan. Ia benci bau langu kayu kelor yang disisiki mbah Sarikem.
”Kalau nggak suka baunya jangan dekat-dekat.”
Alih-alih menuruti perintah mbah Sarikem, Agung malah semakin mendekat lalu duduk tanpa alas di sebelah wanita yang punggungnya melengkung ke depan akibat terlalu banyak menggendong rumput itu.
”Daun kelornya buat makan kambing ya, Mbah?” Suara Agung tak selirih tadi. Sepertinya bocah laki-laki kelas enam SD itu lupa jika dirinya sedang bersembunyi.
”Iya.” Tangan mbah Sarikem yang kurus dan bergelambir tetap melakukan pekerjaannya.
”Kenapa nggak dijual saja kambingnya? Kasihan kalau tiap hari harus cari rumput.”
Agung memang tak tega melihat mbah Sarikem yang renta itu mengurusi tiga kambing peliharaannya sendirian. Biasa di pagi yang matahari saja belum mampu mengeringkan embun di atas daun, Agung melihat wanita tua itu sudah lebih dulu memasuki pagar yang ditumbuhi tanaman kembang biru di seberang rumah Agung.
Di kebon jagung milik haji Abdul itu itu sabit mbah Sarikem pelan-pelan membabat rumput yang warnanya sudah tak hijau lagi. Karena tenaganya tak setangkas saat muda dulu, maka mbah Sarikem bisa sampai berjam-jam di sana. Bahkan kadang di hari Jum’at dan Agung pulang lebih awal dari hari lainnya, ia masih mendengar suara batuk-batuk mbah Sarikem dan suara sabit beradu dengan tanah.
Mengetahui jika mbah Sarikem belum pulang, Agung yang masih berseragam sekolah gegas ke dapur mengambil kendi dan gelas beling untuk dibawa menemui mbah Sarikem. Hati Agung turut merasa segar saat melihat air dingin dari dalam kendi itu masuk mulut, lalu membasahi kerongkongan mbah Sarikem yang kering akibat sengatan terik matahari. Agung terbiasa berbagi dengan orang lain. Selain air minum, kadang ia juga membawakan mbah Sarikem tape singkong atau tempe yang digoreng ibunya. Agung selalu ingat nasehat ibu, bahwa membahagiakan orang lain, kebahagiaannya akan terasa berkali-kali lipat daripada hanya membahagiakan diri sendiri.
”Sekarang kan musim kemarau, susah cari rumput, makanya kambingnya dijual saja, Mbah. Nanti beli lagi kalau rumputnya sudah subur,”ujar Agung.
”Aku memang berencana menjual kambing-kambing itu. Tapi tidak sekarang.”
Uhuk… Uhukk…
”Tiga bulan lagi setelah mereka besar dan gemuk, aku akan menjualnya. Lalu uangnya akan kuberikan pada anak-anak yatim piatu di yayasan.”
Uhuk… Uhuukk…Uhuukkk
Mbah Sarikem memukul-mukul pelan dadanya bagian atas berharap batuknya mereda.
”Kau ingat kan ceramah mbah Sardi tempo hari, bahwa sedekah di dunia artinya menabung untuk kehidupan akherat kelak. Selagi masih diberi umur, aku ingin menabung sebanyak-banyaknya agar bekalku akheratku nanti banyak.”
Agung mengangguk-anggukkan kepala tanpa paham betul maksud kalimat panjang lebar yang diterangkan mbah Sarikem. Yang Agung tahu, ia merasa kasihan sekali melihat wanita tua yang sedari tadi batuk-batuk lemah yang berada di sampingnya itu. Ia tak bisa membayangkan, betapa sunyi hidup mbah Sarikem sebab tak ada satupun keluarga yang menemani dan bisa diajak berbagi cerita.
Agung pernah bertanya pada ibunya perihal mbah Sarikem. Sebenarnya mbah Sarikem dulu pernah menikah dan dikaruniai seorang anak. Namun suatu hari suami dan anaknya meninggal dalam kecelakaan angkot yang hendak membawa mereka ke kota untuk menjenguk ponakan mbah Sarikem yang sakit.
Sejak saat itu mbah Sarikem tinggal berteman sepi. Konon di desa itu ia tak memiliki saudara. Suaminya juga penduduk dari desa jauh. Sebenarnya mbah Sarikem masih memiliki tiga ponakannya yang tinggal di kota. Tapi mereka hanya sekali saja menjenguk mbah Sarikem. Kedatangan itu pun dengan maksud meminta warisan tanah milik mbah Sarikem.
Beberapa petak tanah yang dibeli dengan keringat mbah Sarikem dan suaminya direlakan dijual oleh ketiga ponakan mbah Sarikem. Lalu uangnya mereka bawa pulang ke kota dan hanya menyisakan mbah Sarikem yang tinggal di rumah mungil.
Tak ada lagi hasil sawah dan ladang yang biasa mencukupi kebutuhan hidup mbah Sarikem. Untuk makan pun ia mulai kesulitan. Maka dengan sedikit sisa uang yang ada, mbah Sarikem membeli kambing lalu merawatnya. Awalnya ia membeli kambing anakan, dirawat, lalu setelah besar dijual. Begitu seterusnya dan sampai sekarang.
**
Dari jarak dua puluh langkah kaki kecil itu Agung jongkok di belakang garis. Matanya fokus mencari posisi yang bagus. Tak lama, sebuah kelereng yang berada diantara pertemuan ibu jari dan jari tengahnya dijentikkan ke depan. Secepat kilat kelereng itu menggelinding mendekati lingkaran. Usai melakukan itu, Agung berpindah tempat. Beberapa anak lain yang hendak melakukan hal serupa yang sudah menunggu giliran.
Gaduh suara ketepak sandal yang biasa terdengar kini berganti suara kelereng yang saling berbenturan. Sudah dua hari ini Agung tak lagi harus lari pontang-panting seperti saat bermain petak umpet. Ia tak perlu lagi mengendap-endap dari balik tembok rumah mbah Sarikem. Mengingat wanita tua itu tiba-tiba Agung sadar jika sudah dua hari ia tak melihat mbah Sarikem lewat depan rumahnya saat berangkat atau pulang dari mencari rumput.
”Agung! Mau kemana?”
Agung mendengar teriakan temannya, namun ia terus berlari meninggalkan area bermain. Tempurung kepalanya dipenuhi oleh kekhawatiran.
”Mbah… Mbah Sarikem.” Napas Agung memburu.
Tak ada jawaban.
”Mbah…!” Agung mengetuk pintu kayu rumah mbah Sarikem dengan telapak tangannya.
Masih tak ada respon. Agung mendorong pintu pelan. Dikunci. Agung berjalan melewati halaman rumah sederhana itu menuju belakang.
Embeekk… Embeekkk…
Seketika kambing mbah Sarikem mengembik keras begitu melihat Agung. Mereka terus mengembik dan membuat gaduh dengan berlarian di dalam kandang. Agung tak mempedulikan mereka yang sepertinya kelaparan itu. Ia terus berjalan hingga mencapai pintu belakang rumah mbah Sarikem.
”Mbah… Mbah Sarikem ada di dalam?” Agung cemas.
Tak ada sahutan.
Agung mendorong pintu seperti yang dilakukannya pada pintu depan. Bergerak. Ia mendorongnya lagi hingga pintu itu sempurna terbuka.
Dapur dan ruang depan sudah diperiksa tapi kosong. Rasa khawatir yang memuncak membuat Agung memberanikan diri menyingkap kelambu kamar mbah Sarikem. Kasur kapuk itu tak berpenghuni, tapi kedua bola mata Agung menangkap sepasang sandal jepit yang berasa di bawah ranjang dan di sebelahnya mbah Sarikem yang masih mengenakan mkena terkulai di atas tikar.
Agung mencoba memanggil mbah Sarikem. Diteriaki agak keras dan badannya digoyang-goyangkan namun tak ada reaksi. Rasa takut, bingung dan khawatir berbaur menjadi satu memenuhi pikiran Agung terlebih ketika kulit mbah Sarikem seperti es saat ia menyentuhnya. Maka diambang ketakutan itu, Agung gegas lari keluar lalu melapor pada mbah Sardi yang kebetulan baru datang ke langgar.
”Innalillahi wainnailaihi roji’uun,” kata mbah Sardi.
Kabar meninggalnya mbah Sarikem secepat kilat tersebar ke penjuru kampung. Lalu malamnya tahlilan digelar di langgar. Dan sehari setelahnya keponakan mbah Sarikem yang tinggal di kota juga datang.
”Biarkan kami menjual ketiga kambing itu. Bukankah orang-orang yang tahlilan perlu diberi makan?” ujar ponakan mbah Sarikem yang paling besar kepada mbah Sardi malam itu.
”Urusan dana tak usah khawatir karena masyarakat sudah setuju untuk diambilkan dari khas desa.” Terang mbah Sardi yang diiyakan oleh beberapa tetangga dekat.
”Sepeninggal kami nanti tak ada yang mengurusi kambing-kambing itu. Biarkan kami menjualnya.” Kukuh kata ponakan mbah Sarikem yang kedua.
”Mbah Sarikem adalah budhe kami. Kami berhak menerima warisannya.” Ponakan mbah Sarikem yang ketiga menambahi.
Mbah Sardi hanya bisa terdiam menghadapi ketiga ponakan mbah Sarikem yang bersikukuh menjual kambing itu. Di dalam hatinya membenarkan bahwa yang berhak menerima warisan mbah Sarikem adalah mereka, tapi hati mbah Sardi juga agak kesal jika mengingat bahwa mereka bertiga dulu telah membuat hidup mbah Sarikem susah usai mereka minta bagian tanah.
Beberapa tetangga yang melihat hanya bisa mengelus dada. Rasa sedih sebagai tetangga akan kepergian mbah Sarikem saja masih belum hilang dari dada mereka, namun orang yang masih ada pertalian darah dengan mbah Sarikem malah sudah membicarakan warisan.
”Kalau itu yang kalian inginkan, aku tak bisa menghalangi.” Mbah Sardi menyerah.
Ketiga ponakan mbah Sarikem tersenyum penuh kemenangan.
”Mbah Sarikem ingin menjual kambing itu dan uangnya dibuat untuk menyantuni anak yatim. Kalian tak boleh menyentuh peninggalannya.”
Mata semua orang terarah pada sosok yang baru datang itu.
”Mbah Sarikem mengatakannya sendiri padaku. Tak ada yang berhak menyentuh kambing-kambing itu,” ucapnya lagi tegas.
Mbah Sardi dan beberapa tetangga tersenyum melihat sosok kecil yang berdiri di dekat pintu itu. Agung. (*)
*Cerpen sederhana ini pernah termuat di tabloid ApakabarPlus Hong Kong.
No comments:
Post a Comment