Bel di rumah nenek berbunyi. Aku membuka pintu kayu dan tampak laki-laki berusia tujuh puluhan tahun berdiri di balik ditcak. Laki-laki yang sangat kukenal itu tersenyum. Matanya mengisyaratkan agar aku melihat ke arah tangan kirinya yang sedikit dinaikkan ke atas. Ke sebuah mangkuk cekung besar yang ditutup po sin toi. Aku mengernyitkan dahi, merasa aneh melihat ia bersikap baik.
‘’Mama, yao papak a.’’ Laporku pada nenek yang kujaga yang sedang menonton televisi.
‘’Mesia?’’ tanya nenek. Nada suaranya tinggi dengan sedikit penekanan. Sepertinya nenek masih menyimpan kesal pada papak.
‘’Cu kiok keong jo. Jeng pei lei sik a,’’ jawab papak dengan senyum terulas dari bibirnya yang hitam sebab terlalu banyak menghisap asap tembakau.
Kulihat alis nenek yang berbentuk bulan sabit itu dinaikkan ke atas.
‘’Kali ini setan baik mana yang nyasar ke tubuhnya?’’ kata nenek pelan, berbisik di telingaku.
Aku hanya bisa menahan tawa ketika mendengar nenek menyebut ‘setan baik’. Biasa perempuan berusia tujuh puluh tahun itu akan berkata ‘setan gila mana yang menyusup di ubun-ubunnya’ atau ‘Ia kerasukan setan kesasar dari mana’. Aku sangat hapal dengan kalimat-kalimat senada yang nenek ucapkan dan ditujukan untuk laki-laki yang suka marah-marah tak jelas di depan kami itu.
‘’Ngo sai loi sang bibi. Po liko pei ngo. Konceng le ka, ngo mei sik.’’ Papak meyakinkan.
Nenek melempar pandangannya tepat mengenai kedua bola mataku. Sebagai isyarat kata terserah, aku mengangkat bahu. Nenek menirukanku mengangkat kedua bahunya, lalu berjalan menuju sofa tempatnya menonton televisi, tapi akhirnya kudengar ia berkata,’’Hoi mun a.’’
Aku menuruti perintah nenek. Tanganku lantas meraih kunci di centelan di samping almanak bertuliskan huruf cina yang menggantung di tembok. Sebelum membuka pintu, aku sempat memandang sekilas ke arah papak lagi. Ia tersenyum, tapi simpul dari bibirnya tak lagi sama dengan senyum di awal. Tiba-tiba satu kata hinggap di tempurung kepalaku: curiga.
Aku teringat nasehat ibu bahwa tidak baik berpikiran negatif pada orang lain. Maka yang kulakukan selanjutnya adalah menepis kecurigaan itu sampai ke akarnya, lantas membuka kunci gembok. Dengan kekuatan seadanya, kudorong ditcak ke kiri, lalu terciptalah ruang yang cukup untuk dilalui satu orang. Papak yang sudah tak sabar, gegas masuk.
Kedua tanganku telah memegang mangkuk dingin yang sepertinya baru keluar dari lemari es. Aku berjalan menuju dapur hendak mengganti mangkuk berwarna biru putih berhiaskan kesanggrahan cina itu dengan mangkuk beling milik nenek. Kata nenek tempo hari, cu kiok keong jo tidak boleh ditaruh di wadah yang terbuat dari plastik atau mika karena itu akan mengubah rasanya. Tapi belum juga kakiku sampai di depan pintu dapur, terdengar suara gaduh dan teriakan dari ruang tengah.
‘’Kaumenga…!’’
Aku panik melihat kaki nenek sedikit terkangkang dengan tubuh setengah berbaring di atas sofa. Tangan kanannya menahan tangan kiri papak. Sedang tangan kirinya menahan tangan kanan laki-laki itu yang ternyata membawa pisau yang sejak awal disembunyikannya dari kami. Secepat kilat kutaruh mangkuk di meja kayu di sebelahku. Aku lantas berlari dan sekuat tenaga menarik tangan kanan papak berusaha menjauhkan pisau dapur besar dan mengkilat yang hanya berjarak kisaran lima senti itu dari dahi nenek.
**
Tiga jam yang lalu bel di rumah nenek berbunyi. Ketika pintu kayu kubuka, bau khas asap tembakau menerobos masuk ke dalam rumah. Di balik ditcak, papak berdiri dengan gulungan asap berwarna putih yang keluar dari mulutnya. Aku terbatuk-batuk kecil lalu menutup hidung dengan tangan kiri. Jika bukan karena nenek telah menunggunya di meja mahjeuk, pasti aku akan meminta papak menghabiskan rokoknya sampai puntung paling pendek.
Lima menit kemudian, bel di rumah nenek berbunyi untuk kali yang kedua. Ketika aku mengintip dari lubang kecil yang ada di tengah-tengah pintu kayu, dua orang teman nenek sudah berada di luar. Aku mengulangi hal yang sama seperti yang kulakukan pada papak, yakni mempersilakan kedua teman nenek itu masuk.
Empat loyanka duduk mengelilingi meja mahjeuk. Tak berapa lama, batu-batu mahjeuk yang bergambar simbol, tengkurap semua menghadap meja berwarna hijau. Permainan yang membutuhkan kecerdasan dan kepandaian mengatur strategi pun dimulai. Nenek dan teman-temannya mengacak memutar batu-batu itu.
Dalam sekejab rumah nenek berubah serupa pasar dadakan. Selain keramaian batu mahjeuk yang ditimbulkan akibat mereka saling berbenturan, suara nenek dan tiga temannya juga menambah ramai suasana pagi jelang siang itu. Aku sudah tidak kaget menghadapi hal seperti itu. Sebab setiap satu atau dua minggu sekali pasti hal itu selalu terulang.
Jika sudah berhadapan dengan meja mahjeuk, empat loyanka itu seringkali lupa waktu. Bahkan perut nenek yang mudah sekali lapar, akan betah hanya diisi oleh lomai chi buatannya dan bercangkir-cangkir teh yang kutuang dari teko keramik berwarna putih.
Selagi mereka bermain, aku melanjutkan pekerjaan. Dari tempatku bersih-bersih, tak jarang terdengar suara nenek berteriak girang karena menang, lalu disusul umpatan laki-laki. Hanya ada satu laki-laki di rumah, maka dapat dipastikan kata-kata serapah itu keluar dari mulut papak. Dan sudah bisa kutebak, pasti uang taruhan laki-laki tua itu telah habis berpindah ke kantong teman-temannya.
Darah panas sepertinya telah naik ke ubun-ubun papak. Laki-laki itu ngomel-ngomel tak jelas. Beberapa kali menggebrak meja, dan itu membuat batu-batu mahjeuk yang sudah tertata rapi menjadi berantakan lagi. Nenek geram. Adu mulut terjadi.
Dua orang yang sama-sama keras kepala itu tak ada yang mau mengalah. Nenek dan papak menyebut berbagai nama hewan di kebun binatang untuk mengolok satu sama lain. Aku dan dua teman wanita nenek menengahi. Pertengkaran selesai ketika akhirnya papak kami suruh pulang dengan paksa.
**
Wajah nenek berpeluh. Keringat sebesar jagung mengalir di wajahnya. Suaranya mulai serak sebab kebanyakan menjerit dan berteriak. Aku juga berteriak minta tolong dengan suara lebih keras. Tapi percuma, di jam itu tak ada tetangga yang berada di rumah. Mereka masih bekerja.
‘’Fongsau a! Fongsau!’’ Nenek meronta.
Laki-laki berambut kelabu itu tak mengindahkan permintaan nenek. Kekuatannya semakin dilipat-gandakan. Semakin brutal. Ia bernafsu sekali mendaratkan pisau yang biasa dipakai untuk mencacah daging itu ke dahi nenek.
‘’Nek gigit tangannya, lalu cepat lari!’’
Nenek melakukan apa yang kukatakan. Papak mengerang kesakitan dan berang setelah nenek berhasil lolos dari cengkeramannya. Tanpa alas kaki, nenek berlari keluar lalu belok ke kiri menuju lift untuk turun.
Papak hendak mengejar, tapi....
Bukk!!
Aku kurang kuat menahan tubuh papak yang tinggi besar itu, maka yang bisa kulakukan hanya memegangi kakinya dan menahan agar tak bisa mengejar nenek. Papak jatuh, wajahnya menjingga. Aku melepaskan kedua tanganku dari kaki kirinya setelah ia menakut-nakutiku dengan mengarahkan pisau ke arahku. Aku tahu betul, emosi orang marah selalu tak bisa dikontrol, maka aku tidak mau menjadi tumbal pisau itu karena aku yakin ancamannya tak main-main.
Papak bangkit. Ia terlihat semakin beringas dan bernafsu sekali meluapkan amarahnya pada nenek. Ia berlari menuruni tangga. Aku mengikutinya dari belakang. Sesampainya di lantai dasar, Ayi penjaga ketakutan dan ikut panik melihat kami berlari-larian dan papak membawa pisau. Beberapa orang laki-laki ikut mengejar papak setelah mereka paham apa yang terjadi.
**
Bukannya bersembunyi, nenek masih terus berlari. Sepertinya ia terlalu bingung harus melakukan hal apa. Dan sialnya, hal itu sangat membantu penglihatan papak menemukannya. Nenek sudah selesai menuruni anak tangga. Jika tangga itu diibaratkan jalan yang lurus, maka jaraknya hanya beberapa puluh langkah saja.
Dari atas aku melihat nenek terhenti. Napasnya ngos-ngosan. Sepertinya usia senja membuat tubuhnya menjadi cepat lelah. Aku panik bukan kepalang saatmelihat papak hendak menuruni tangga itu. Dan tanpa berpikir dua kali, dari belakang aku berusaha merebut pisau itu. Papak kaget dan sedikit marah. Kami saling berebut dan tarik menarik. Orang-orang yang ikut mengejar, turut membantuku. Pisau lepas dari tangan papak, dan sebagai balasan karena aku selalu menghalangi niatnya, laki-laki itu mendorong tubuhku. Sebeum semuanya tampak buram dan gelap, aku semat merasakan bumi yang berputar-putar dan rasa sakit di sekujur tubuhku.
**
Mataku masih berat ketika mendapati seluruh ruangan telah berubah menjadi terang benderang penuh cahaya. Kukira aku sudah berada di dunia lain, tapi bau khas obat-obatan di ruangan itu membuatku langsung mengenali di mana aku berada. Rumah sakit.
‘’Kamu sudah bangun?’’ Seulas senyum terbingkai dari wajah lembut Dhai-dhai. Rautnya menyiratkan kelegaan.
‘’Aku tergeragap, menyadari apa yang baru terjadi.’’Nenek bagaimana?’’
‘’Nenek tidak apa-apa, hanya saja tadi sedikit shock. Ia sedang tidur, dirawat di ruang sebelah,’’Dhai-dhai menggenggam erat tanganku,’’Terimakasih telah menyelamatkannya.’’
‘’Sudah seharusnya aku melakukan itu, orang-orang juga banyak membantu. Tapi yang menyelamatkan bukan aku, melainkan Tuhan.’’
‘’Pokoknya aku sangat berterimakasih padamu.’’
Aku tersenyum, ''Tapi Dhai-dhai..., kenapa kakiku dibeginikan?’’
Dhai-dhai menoleh ke arah kakiku yang diperban dan agak digantung ke atas.
‘’Ah iya aku lupa memberitahu, jadi kakimu mengalami patah tulang. Dokter bilang tidak terlalu parah. Tapi agar cepat pulih, kau harus tinggal di sini selama dua mingguan.’’
Aku melongo,’’Tak bisakah aku istirahat di rumah saja? ’’
Dhai-dhai menggeleng.
‘’Ah, di sini pasti membosankan.’’
Aku merajuk, tidak mau tinggal lebih lama di kamar berukuran tiga kali empat meter itu. Dari film-film horor yang sering kutonton, biasa hantu-hantu di rumah sakit akan keluar pada malam hari. Suara hantu bayi menangis, suster ngesot di lantai dan suara pintu diketuk tapi tidak ada orangnya, tiba-tiba membuat bulu kudukku berdiri. Aku merinding membayangkan itu semua.(*)
*Yesi Armand Sha
*Yesi Armand Sha
No comments:
Post a Comment