Bagaimanapun, aku masih belum terbiasa untuk berbagi kamar dengannya. Pria bermata cekung dengan sedikit jambang di wajah, yang kini tengah meringkuk di atas karpet di sebelah ranjangku. Pria yang tujuh hari lalu menikahiku. Dialah Mas Adam.
Mas Adam menarik-narik ujung selimut. Sepertinya hawa malam yang beradu dengan lantai keramik membuat tubuhnya bertambah kedinginan. Melihatnya demikian, kadang ingin membangunkan dan menyuruhnya berpindah tidur di atas ranjang. Tapi kalimat itu tak pernah terucap, sebab hatiku masih tak menerima.
Aku ingat kala itu mas Adam yang semula duduk, berjalan ke depanku. Membiarkan kedua lututnya beradu dengan lantai café.
‘’Astaga,apa yang mas lakukan? Kita bicara baik-baik, tapi mas berdiri dulu,’’ aku memapahnya berdiri dan duduk ke kursinya.
‘’Kumohon lakukan demi mama, Put.’’
Aku terbayang wajah pucat tante Ratna. Bagaimanapun juga ada sebentuk rasa tak tega saat menolak keinginan teman dekat mama yang menyayangiku layaknya anak sendiri itu, agar aku bersedia menikah dengan anak semata wayangnya. Apalagi saat keadaannya sedang buruk, terbaring lemah di rumah sakit karena kanker yang di deritanya.
‘’Mas Adam pastinya tahu kan jika aku belum ingin menikah? Lalu apakah tidak apa-apa jika pernikahan itu hanya kepura-puraan yang kita tunjukkan di depan keluarga kita?’’ aku melunak, menanyai-nya dengan hati-hati.
‘’Apapun syaratnya aku terima, Put. Menikah denganmu, membuat keadaan mama lebih baik, aku yakin. Ataupun jika harus pergi, setidaknya mama bisa pulang dengan tenang setelah melihat kita menikah,’’ jawabnya sungguh-sungguh. Kulihat keruh di wajahnya menjadi lebih terang.
**
Beberapa minggu usai akad, aku kembali ke Bandung. Di kota kembang ini artinya kebebasan buatku untuk berlepas dari kepura-puraan menjadi istri yang baik. Aku tinggal di rumah mas Adam yang dibelinya tahun lalu. Beruntung jarak rumah dengan kampus lumayan jauh, jadi aku bisa bernafas lega sebab tak ada yang menemukan jika aku telah menikah.
Hari demi hari terus berjalan. Meski begitu, hubunganku dengan mas Adam belum membaik. Aku merasa pria pemilik rahang tegas ini telah merenggut masa remajaku yang belum genap dua puluh tahun. Bila mengingat pernikahan, aku selalu ingin marah. Dan imbas dari kekesalan hatiku itulah, kadang aku marah-marah tak jelas dan ngambek saat ada sedikit saja kesalahan yang diperbuatnya.
Melihat mas Adam menjadi kambing hitam kekesalanku, sering kumarahi diriku sendiri. Aku tak tahu kenapa hubunganku dengan laki-laki yang pernah menjadi teman kecilku itu menjadi buruk. Teman kecil? Iya, dulu tante Ratna dan mas Adam sering sekali datang ke rumah. Aku lebih suka bermain dengannya daripada dengan keempat kakak laki-lakiku. Ia membantuku merangkai lego dan aku mengajarinya membuat puding. Ia orang yang menyenangkan. Tapi itu dulu sekali, saat aku belum berusia lima belas tahun dan sebelum mas Adam kuliah di Singapura.
Memasuki hari ke tiga ratus dua puluh empat, barulah aku bisa menerima kehadirannnya kembali. Bukan suami tapi masih sebatas teman. Berteman dengan mas Adam berarti membangun lagi komunikasi yang dulu padam. Memang ada rasa canggung saat awal memulai percakapan, namun hal itu hilang sendiri seiring berjalannya waktu.
Pembicaraan kami mencair. Aku juga sering membantunya melakukan perkerjaan rumah, memotong rumput atau sesekali menawarkan bantuan memasak. Eits, untuk hal terakhir, mas Adam hanya akan tersenyum dan mengucapkan terimakasih lalu menyuruhku duduk di ruang tamu. Mas Adam tahu jika aku tak bisa memasak.
**
Minggu pagi aku dan teman-teman menonton film religi terbaru yang diadaptasi dari novel karya penulis kesayanganku. Dalam perjalanan pulang melewati toko buku, kulihat seorang laki-laki sedang memilih-milih buku bersama seorang wanita. Aku seperti mengenalnya. Saat kutamatkan, ternyata laki-laki itu mas Adam. Wanita itu siapa? Pikirku dalam hati.
Aku sudah berada di dalam mobil temanku. Tapi entah kenapa pikiranku di bayang-bayangi oleh mas Adam dan wanita tadi. Sebenarnya aku tak hendak peduli, tapi hatiku di bagian lain terasa ada yang mengusik. Aku pun memutar otak, pamitan padanya bahwa ada sesuatu yang harus kukerjakan. Aku turun di tepi jalan yang tak jauh dari mall.
Aku kembali ke toko buku. Mas Adam masih di sana, sedang membayar di kasir. Bersama wanita itu, ia berjalan meninggalkan toko buku. Aku berjalan pelan di belakangnya dengan jarak yang tak terlalu jauh, tapi masih bisa melihat mereka.
Mereka berjalan menuju sebuah restoran. Aku melakukan hal yang sama, namun memilih meja yang berlawanan dan tersembunyi. Dari jauh aku bisa mengamati mereka. Meski tak bisa mendengar apa yang dibicarakan, tapi aku bisa melihat kedekatan mereka. Ya, untuk hal ini aku tahu dengan pasti. Mas Adam bukan tipe orang yang mudah dekat dengan orang lain. Ia hanya akan dekat dengan orang yang memiliki hubungan khusus dengannya.
Sejak minggu itu, Kulihat perubahan pada sikap mas Adam. Kehidupannya tak lagi di dalam rumah. Jika tak pulang larut, ia bisa tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Di hari libur pun ia lebih memilih menghabiskan waktu di luar. Ia seolah menjadi orang lain. Tubuhnya kian kurus, mata cekungnya makin cekung dan jambang di wajahnya lebat tak terurus.
**
Sepertinya baru kemarin hubunganku dengan mas Adam membaik. Tapi komunikasi kami dingin kembali. Tak ada lagi pembicaraan. Kami seperti dua orang yang tak saling mengenal. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi suatu hari, aku pernah punya niatan untuk menyapanya terlebih dahulu. Aku mengiriminya SMS dan menanyakan kapan pulang. Tak lama setelah terkirim, balasan darinya masuk: Besok siang.
Rumah sudah bersih, ruangan kusemprot wangi memakai parfum favorit mas Adam. Tak lupa aku membelikan makanan kesukaannya. Dan aku sudah menyiapkan kata-kata apa yang hendak kuucapkan saat ia datang. Lalu, saat bel rumah berbunyi, aku buru-buru membuka pintunya. Tapi orang yang berdiri di baliknya bukan mas Adam seperti yang kubayangkan, melainkan wanita itu. Ia yang kulihat bersama mas Adam di toko buku tempo hari.
Kepalaku dijejali pikiran-pikiran negatif tentang wanita itu. Berani-beraninya ia menampakkan wajahnya setelah mendekati suamiku. Suami? Ya, akhirnya aku harus mengakui bahwa ternyata aku telah mencintainya. Lalu, pikiran negatif tentang Diana kubuang jauh-jauh. Aku teringat perkataan mama, bahwa tidak baik untuk buru-buru menyimpulkan sesuatu sebelum mengetahui kebenarannya. Aku menyilahkannya masuk. Ia memperkenalkan diri bernama Diana, seorang dokter saraf, teman kuliah mas Adam di Singapura.
**
Aku berjalan buru-buru menyusuri koridor rumah sakit. Pada perawat yang bertugas kutanyakan dimana mas Adam di rawat. Menahan hati yang terasa remuk, aku setengah berlari menuju kamarnya. Aku tak kuasa menahan air yang terus tumpah dari kedua mataku. Ucapan Diana tadi siang masih terdengar jelas di telinga.
‘’Adam menderita hematoma epidural sebab kecelakaan sewaktu kuliah di Singapura dulu. Satu bulan terakhir ini keadaannya drop. Sebenarnya beberapa kali ia sudah mau dirawat di rumah sakit. Tapi saat kondisinya mulai membaik, ia memaksa pulang sebab menghawatirkan mbak di rumah sendirian.’’
‘’Ia tak mau melakukan operasi sebab takut ingatannya tak akan kembali. Ia takut tak akan mengenali mbak lagi. Ia telah mencintai mbak sejak pertama kali mbak mengajarinya membuat puding.’’
Aku sudah berdiri di depan pintu bercat hijau daun bertuliskan nomor 102. Dari kaca yang ada di tengah pintu itu, nampak mas Adam tengah tertidur pulas. Wajah pucatnya semakin tirus, bibirnya pucat kebiruan. Air mataku masih mengalir. Dadaku sesak. Saat sudah bisa mengendalikan perasaanku, pintu kayu itu kubuka pelan.
Rupanya mas Adam tidak tidur. Ia menoleh kaget saat melihatku datang. Kepalang basah, ia memaksa untuk tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa. Namun senyum dari bibir biru itu lemah sekali. Dan sebelum aku berhasil mencapai bangsalnya, pria pendiam itu memegangi kepala dengan kedua tangannya. Ia tengah kesakitan.
**
Akhirnya mas Adam membuka matanya setelah satu jam yang lalu Diana memberikan suntikan penahan rasa sakit padanya. Ia menatap wajahku kemudian beralih pada tangan kanannya yang tengah kugenggam erat.
‘’Kenapa tidak pernah bilang?’’ tanyaku sambil menempelkan tangannya di pipiku.
‘’Aku tidak sakit,’’ ia tersenyum lemah.
‘’Bukan itu.’’
‘’Lalu?’’
‘’Kenapa tak pernah bilang jika mas mencintaiku?’’
‘’Aku terlalu bahagia saat di sampingmu.’’
‘’Lalu, maukah mas berjanji untuk selalu bahagia bersamaku?’’
Mas Adam menempelkan dan mengaitkan kelingkingnya dengan jari kelingkingku yang kuulurkan padanya. Kami membuat ikatan perjanjian.
‘’Aku berdoa dulu untuk operasi mas nanti malam,’’ kukecup keningnya lembut, lalu bergegas keluar menuju mushola rumah sakit, sebab panggilan untuk melaksanakan sholat maghrib telah berkumandang. (*)
*Cerpen ini pernah dimuat di majalah Iqro.
Yesi Armand Sha.
Yesi Armand Sha.