1/30/2020

Pernikahan yang Tak Diinginkan

pict pixabay


Bagaimanapun, aku masih belum terbiasa untuk berbagi kamar dengannya. Pria bermata cekung dengan sedikit jambang di wajah, yang kini tengah meringkuk di atas karpet di sebelah ranjangku. Pria yang tujuh hari lalu menikahiku. Dialah Mas Adam.

Mas Adam menarik-narik ujung selimut. Sepertinya hawa malam yang beradu dengan lantai keramik membuat tubuhnya bertambah kedinginan. Melihatnya demikian, kadang ingin membangunkan dan menyuruhnya berpindah tidur di atas ranjang. Tapi kalimat itu tak pernah terucap, sebab hatiku masih tak menerima.

Aku ingat kala itu mas Adam yang semula duduk, berjalan ke depanku. Membiarkan kedua lututnya beradu dengan lantai café.

‘’Astaga,apa yang mas lakukan? Kita bicara baik-baik, tapi mas berdiri dulu,’’ aku memapahnya berdiri dan duduk ke kursinya.

‘’Kumohon lakukan demi mama, Put.’’

Aku terbayang wajah pucat tante Ratna. Bagaimanapun juga ada sebentuk rasa tak tega saat menolak keinginan teman dekat mama yang menyayangiku layaknya anak sendiri itu, agar aku bersedia menikah dengan anak semata wayangnya. Apalagi saat keadaannya sedang buruk, terbaring lemah di rumah sakit karena kanker yang di deritanya.

‘’Mas Adam pastinya tahu kan jika aku belum ingin menikah? Lalu apakah tidak apa-apa jika pernikahan itu hanya kepura-puraan yang kita tunjukkan di depan keluarga kita?’’ aku melunak, menanyai-nya dengan hati-hati. 

‘’Apapun syaratnya aku terima, Put. Menikah denganmu, membuat keadaan mama lebih baik, aku yakin. Ataupun jika harus pergi, setidaknya mama bisa pulang dengan tenang setelah melihat kita menikah,’’ jawabnya sungguh-sungguh. Kulihat keruh di wajahnya menjadi lebih terang.

**
Beberapa minggu usai akad, aku kembali ke Bandung. Di kota kembang ini artinya kebebasan buatku untuk berlepas dari kepura-puraan menjadi istri yang baik. Aku tinggal di rumah mas Adam yang dibelinya tahun lalu. Beruntung jarak rumah dengan kampus lumayan jauh, jadi aku bisa bernafas lega sebab tak ada yang menemukan jika aku telah menikah.

Hari demi hari terus berjalan. Meski begitu, hubunganku dengan mas Adam  belum membaik. Aku merasa pria pemilik rahang tegas ini telah merenggut masa remajaku yang belum genap dua puluh tahun. Bila mengingat pernikahan, aku selalu ingin marah. Dan imbas dari kekesalan hatiku itulah, kadang aku marah-marah tak jelas dan ngambek saat ada sedikit saja kesalahan yang diperbuatnya.

Melihat mas Adam menjadi kambing hitam kekesalanku, sering kumarahi diriku sendiri. Aku tak tahu kenapa hubunganku dengan laki-laki yang pernah menjadi teman kecilku itu menjadi buruk. Teman kecil? Iya,  dulu tante Ratna dan mas Adam sering sekali datang ke rumah. Aku lebih suka bermain dengannya daripada dengan keempat kakak laki-lakiku. Ia membantuku merangkai lego dan aku mengajarinya membuat puding. Ia orang yang menyenangkan. Tapi itu dulu sekali, saat aku belum berusia lima belas tahun dan sebelum mas Adam kuliah di Singapura.                             

Memasuki hari ke tiga ratus dua puluh empat, barulah aku bisa menerima kehadirannnya kembali. Bukan suami tapi masih sebatas teman. Berteman dengan mas Adam berarti membangun lagi komunikasi yang dulu padam. Memang ada rasa canggung saat awal memulai percakapan, namun hal itu hilang sendiri seiring berjalannya waktu.       

Pembicaraan kami mencair. Aku juga sering membantunya melakukan perkerjaan rumah, memotong rumput atau sesekali menawarkan bantuan memasak. Eits, untuk hal terakhir, mas Adam hanya akan tersenyum dan mengucapkan terimakasih lalu menyuruhku duduk di ruang tamu. Mas Adam tahu jika aku tak bisa memasak.

**
Minggu pagi aku dan teman-teman menonton film religi terbaru yang diadaptasi dari novel karya penulis kesayanganku. Dalam perjalanan pulang melewati toko buku, kulihat seorang laki-laki sedang memilih-milih buku bersama seorang wanita. Aku seperti mengenalnya. Saat kutamatkan, ternyata laki-laki itu mas Adam. Wanita itu siapa? Pikirku dalam hati.

Aku sudah berada di dalam mobil temanku. Tapi entah kenapa pikiranku di bayang-bayangi oleh mas Adam dan wanita tadi. Sebenarnya aku tak hendak peduli, tapi hatiku di bagian lain terasa ada yang mengusik. Aku pun memutar otak, pamitan padanya bahwa ada sesuatu yang harus kukerjakan. Aku turun di tepi jalan yang tak jauh dari mall.

 Aku kembali ke toko buku. Mas Adam masih di sana, sedang membayar di kasir. Bersama wanita itu, ia berjalan meninggalkan toko buku. Aku berjalan pelan di belakangnya dengan jarak yang tak terlalu jauh, tapi masih bisa melihat mereka.

Mereka berjalan menuju sebuah restoran. Aku melakukan hal yang sama, namun memilih meja yang berlawanan dan tersembunyi. Dari jauh aku bisa mengamati mereka. Meski tak bisa mendengar apa yang dibicarakan, tapi aku bisa melihat kedekatan mereka. Ya, untuk hal ini aku tahu dengan pasti. Mas Adam bukan tipe orang yang mudah dekat dengan orang lain. Ia hanya akan dekat dengan orang yang memiliki hubungan khusus dengannya.

Sejak minggu itu, Kulihat perubahan pada sikap mas Adam.  Kehidupannya tak lagi di dalam rumah. Jika tak pulang larut, ia bisa tidak pulang sampai dua atau tiga hari. Di hari libur pun ia lebih memilih menghabiskan waktu di luar. Ia seolah menjadi orang lain. Tubuhnya kian kurus, mata cekungnya makin cekung dan jambang di wajahnya lebat tak terurus.

**
Sepertinya baru kemarin hubunganku dengan mas Adam membaik. Tapi komunikasi kami dingin kembali. Tak ada lagi pembicaraan. Kami seperti dua orang yang tak saling mengenal. Entah apa yang dipikirkannya. Tapi suatu hari, aku pernah punya niatan untuk menyapanya terlebih dahulu. Aku mengiriminya SMS dan menanyakan kapan pulang. Tak lama setelah terkirim, balasan darinya masuk: Besok siang.

Rumah sudah bersih, ruangan kusemprot wangi memakai parfum favorit mas Adam. Tak lupa aku membelikan makanan kesukaannya. Dan aku sudah menyiapkan kata-kata apa yang hendak kuucapkan saat ia datang. Lalu, saat bel rumah berbunyi, aku buru-buru membuka pintunya. Tapi orang yang berdiri di baliknya bukan mas Adam seperti yang kubayangkan, melainkan wanita itu. Ia yang kulihat bersama mas Adam di toko buku tempo hari.

Kepalaku dijejali pikiran-pikiran negatif tentang wanita itu. Berani-beraninya ia menampakkan wajahnya setelah mendekati suamiku. Suami? Ya, akhirnya aku harus mengakui bahwa ternyata aku telah mencintainya. Lalu, pikiran negatif tentang Diana kubuang jauh-jauh. Aku teringat perkataan mama, bahwa tidak baik untuk buru-buru menyimpulkan sesuatu sebelum mengetahui kebenarannya. Aku menyilahkannya masuk. Ia memperkenalkan diri bernama Diana, seorang dokter saraf, teman kuliah mas Adam di Singapura.

**
Aku berjalan buru-buru menyusuri koridor rumah sakit. Pada perawat yang bertugas kutanyakan dimana mas Adam di rawat. Menahan hati yang terasa remuk, aku setengah berlari menuju kamarnya. Aku tak kuasa menahan air yang terus tumpah dari kedua mataku. Ucapan Diana tadi siang masih terdengar jelas di telinga. 

‘’Adam menderita hematoma epidural sebab kecelakaan sewaktu kuliah di Singapura dulu. Satu bulan terakhir ini keadaannya drop. Sebenarnya beberapa kali ia sudah mau dirawat di rumah sakit.  Tapi saat kondisinya mulai membaik, ia memaksa pulang sebab menghawatirkan mbak di rumah sendirian.’’

‘’Ia tak mau melakukan operasi sebab takut ingatannya tak akan kembali. Ia takut tak akan mengenali mbak lagi. Ia telah mencintai mbak sejak pertama kali mbak mengajarinya membuat puding.’’

Aku sudah berdiri di depan pintu bercat hijau daun bertuliskan nomor 102. Dari kaca yang ada di tengah pintu itu, nampak mas Adam tengah tertidur pulas. Wajah pucatnya semakin tirus, bibirnya pucat kebiruan. Air mataku masih mengalir. Dadaku sesak. Saat sudah bisa mengendalikan perasaanku, pintu kayu itu kubuka pelan.

Rupanya mas Adam tidak tidur. Ia menoleh kaget saat melihatku datang. Kepalang basah, ia memaksa untuk tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa. Namun senyum dari bibir biru itu lemah sekali. Dan sebelum aku berhasil mencapai bangsalnya, pria pendiam itu memegangi kepala dengan kedua tangannya. Ia tengah kesakitan.

**
Akhirnya mas Adam membuka matanya setelah satu jam yang lalu Diana memberikan suntikan penahan rasa sakit padanya. Ia menatap wajahku kemudian beralih pada tangan kanannya yang tengah kugenggam erat.

‘’Kenapa tidak pernah bilang?’’ tanyaku sambil menempelkan tangannya di pipiku.

‘’Aku tidak sakit,’’ ia tersenyum lemah.

‘’Bukan itu.’’

‘’Lalu?’’

‘’Kenapa tak pernah bilang jika mas mencintaiku?’’

‘’Aku terlalu bahagia saat di sampingmu.’’

‘’Lalu, maukah mas berjanji untuk selalu bahagia bersamaku?’’ 

Mas Adam  menempelkan dan mengaitkan kelingkingnya dengan jari kelingkingku yang kuulurkan padanya. Kami membuat ikatan perjanjian.

‘’Aku berdoa dulu untuk operasi mas nanti malam,’’ kukecup keningnya lembut, lalu bergegas keluar menuju mushola rumah sakit, sebab panggilan untuk melaksanakan sholat maghrib telah berkumandang. (*)



*Cerpen ini pernah dimuat di majalah Iqro.
  Yesi Armand Sha. 

1/07/2020

Mbah Sarikem



Empat tujuh… Empat delapan… Empat sembilan… Lima puluh.

Samar-samar suara Umar terdengar dari belakang rumah mbah Sarikem. Dari balik tembok yang terbuat dari anyaman bambu itu, pelan Agung memiringkan kepalanya ke kiri, lalu mengarahkan matanya lurus ke depan. Aman.

Uhuk… Uhuuk…

Tubuh Agung menjingkat. Hatinya kesal sebab baru beberapa menit, persembunyiannya sudah ditemukan Umar. Ia menoleh tapi bernapas lega ketika tahu bahwa suara batuk lemah itu ternyata berasal dari seorang wanita tua yang duduk di atas dingklik kayu kecil di bawah pohon kopi.

”Mbah mengagetkanku saja,” ucap Agung lirih.

”Ngajinya belum mulai?” tanya mbah Sarikem mengabaikan ucapan Agung.

”Belum. Mbah Sardi belum datang.” Agung berjalan mendekati mbah Sarikem sembari menarik ujung kaosnya bagian depan. Ia benci bau langu kayu kelor yang disisiki mbah Sarikem.

”Kalau nggak suka baunya jangan dekat-dekat.”

Alih-alih menuruti perintah mbah Sarikem, Agung malah semakin mendekat lalu duduk tanpa alas di sebelah wanita yang punggungnya melengkung ke depan akibat terlalu banyak menggendong rumput itu.

”Daun kelornya buat makan kambing ya, Mbah?” Suara Agung tak selirih tadi. Sepertinya bocah laki-laki kelas enam SD itu lupa jika dirinya sedang bersembunyi.

”Iya.” Tangan mbah Sarikem yang kurus dan bergelambir tetap melakukan pekerjaannya.

”Kenapa nggak dijual saja kambingnya? Kasihan kalau tiap hari harus cari rumput.”

Agung memang tak tega melihat mbah Sarikem yang renta itu mengurusi tiga kambing peliharaannya sendirian. Biasa di pagi yang matahari saja belum mampu mengeringkan embun di atas daun, Agung melihat wanita tua itu sudah lebih dulu memasuki pagar yang ditumbuhi tanaman kembang biru di seberang rumah Agung.

Di kebon jagung milik haji Abdul itu itu sabit mbah Sarikem pelan-pelan membabat rumput yang warnanya sudah tak hijau lagi. Karena tenaganya tak setangkas saat muda dulu, maka mbah Sarikem bisa sampai berjam-jam di sana. Bahkan kadang di hari Jum’at dan Agung pulang lebih awal dari hari lainnya, ia masih mendengar suara batuk-batuk mbah Sarikem dan suara sabit beradu dengan tanah.

Mengetahui jika mbah Sarikem belum pulang, Agung yang masih berseragam sekolah gegas ke dapur mengambil kendi dan gelas beling untuk dibawa menemui mbah Sarikem. Hati Agung turut merasa segar saat melihat air dingin dari dalam kendi itu masuk mulut, lalu membasahi kerongkongan mbah Sarikem yang kering akibat sengatan terik matahari. Agung terbiasa berbagi dengan orang lain. Selain air minum, kadang ia juga membawakan mbah Sarikem tape singkong atau tempe yang digoreng ibunya. Agung selalu ingat nasehat ibu, bahwa membahagiakan orang lain, kebahagiaannya akan terasa berkali-kali lipat daripada hanya membahagiakan diri sendiri.

”Sekarang kan musim kemarau, susah cari rumput, makanya kambingnya dijual saja, Mbah. Nanti beli lagi kalau rumputnya sudah subur,”ujar Agung.

”Aku memang berencana menjual kambing-kambing itu. Tapi tidak sekarang.”

Uhuk… Uhukk…

”Tiga bulan lagi setelah mereka besar dan gemuk, aku akan menjualnya. Lalu uangnya akan kuberikan pada anak-anak yatim piatu di yayasan.”

Uhuk… Uhuukk…Uhuukkk

Mbah Sarikem memukul-mukul pelan dadanya bagian atas berharap batuknya mereda.

”Kau ingat kan ceramah mbah Sardi tempo hari, bahwa sedekah di dunia artinya menabung untuk kehidupan akherat kelak. Selagi masih diberi umur, aku ingin menabung sebanyak-banyaknya agar bekalku akheratku nanti banyak.”

Agung mengangguk-anggukkan kepala tanpa paham betul maksud kalimat panjang lebar yang diterangkan mbah Sarikem. Yang Agung tahu, ia merasa kasihan sekali melihat wanita tua yang sedari tadi batuk-batuk lemah yang berada di sampingnya itu. Ia tak bisa membayangkan, betapa sunyi hidup mbah Sarikem sebab tak ada satupun keluarga yang menemani dan bisa diajak berbagi cerita.

Agung pernah bertanya pada ibunya perihal mbah Sarikem. Sebenarnya mbah Sarikem dulu pernah menikah dan dikaruniai seorang anak. Namun suatu hari suami dan anaknya meninggal dalam kecelakaan angkot yang hendak membawa mereka ke kota untuk menjenguk ponakan mbah Sarikem yang sakit.

Sejak saat itu mbah Sarikem tinggal berteman sepi. Konon di desa itu ia tak memiliki saudara. Suaminya juga penduduk dari desa jauh. Sebenarnya mbah Sarikem masih memiliki tiga ponakannya yang tinggal di kota. Tapi mereka hanya sekali saja menjenguk mbah Sarikem. Kedatangan itu pun dengan maksud meminta warisan tanah milik mbah Sarikem.

Beberapa petak tanah yang dibeli dengan keringat mbah Sarikem dan suaminya direlakan dijual oleh ketiga ponakan mbah Sarikem. Lalu uangnya mereka bawa pulang ke kota dan hanya menyisakan mbah Sarikem yang tinggal di rumah mungil.

Tak ada lagi hasil sawah dan ladang yang biasa mencukupi kebutuhan hidup mbah Sarikem. Untuk makan pun ia mulai kesulitan. Maka dengan sedikit sisa uang yang ada, mbah Sarikem membeli kambing lalu merawatnya. Awalnya ia membeli kambing anakan, dirawat, lalu setelah besar dijual. Begitu seterusnya dan sampai sekarang.

**
Dari jarak dua puluh langkah kaki kecil itu Agung jongkok di belakang garis. Matanya fokus mencari posisi yang bagus. Tak lama, sebuah kelereng yang berada diantara pertemuan ibu jari dan jari tengahnya dijentikkan ke depan. Secepat kilat kelereng itu menggelinding mendekati lingkaran. Usai melakukan itu, Agung berpindah tempat. Beberapa anak lain yang hendak melakukan hal serupa yang sudah menunggu giliran.

Gaduh suara ketepak sandal yang biasa terdengar kini berganti suara kelereng yang saling berbenturan. Sudah dua hari ini Agung tak lagi harus lari pontang-panting seperti saat bermain petak umpet. Ia tak perlu lagi mengendap-endap dari balik tembok rumah mbah Sarikem. Mengingat wanita tua itu tiba-tiba Agung sadar jika sudah dua hari ia tak melihat mbah Sarikem lewat depan rumahnya saat berangkat atau pulang dari mencari rumput.

”Agung! Mau kemana?”

Agung mendengar teriakan temannya, namun ia terus berlari meninggalkan area bermain. Tempurung kepalanya dipenuhi oleh kekhawatiran.

”Mbah… Mbah Sarikem.” Napas Agung memburu.

Tak ada jawaban.

”Mbah…!” Agung mengetuk pintu kayu rumah mbah Sarikem dengan telapak tangannya.

Masih tak ada respon. Agung mendorong pintu pelan. Dikunci. Agung berjalan melewati halaman rumah sederhana itu menuju belakang.

Embeekk… Embeekkk…

Seketika kambing mbah Sarikem mengembik keras begitu melihat Agung. Mereka terus mengembik dan membuat gaduh dengan berlarian di dalam kandang. Agung tak mempedulikan mereka yang sepertinya kelaparan itu. Ia terus berjalan hingga mencapai pintu belakang rumah mbah Sarikem.

”Mbah… Mbah Sarikem ada di dalam?” Agung cemas.

Tak ada sahutan.

Agung mendorong pintu seperti yang dilakukannya pada pintu depan. Bergerak. Ia mendorongnya lagi hingga pintu itu sempurna terbuka.

Dapur dan ruang depan sudah diperiksa tapi kosong. Rasa khawatir yang memuncak membuat Agung memberanikan diri menyingkap kelambu kamar mbah Sarikem. Kasur kapuk itu tak berpenghuni, tapi kedua bola mata Agung menangkap sepasang sandal jepit yang berasa di bawah ranjang dan di sebelahnya mbah Sarikem yang masih mengenakan mkena terkulai di atas tikar.

Agung mencoba memanggil mbah Sarikem. Diteriaki agak keras dan badannya digoyang-goyangkan namun tak ada reaksi. Rasa takut, bingung dan khawatir berbaur menjadi satu memenuhi pikiran Agung terlebih ketika kulit mbah Sarikem seperti es saat ia menyentuhnya. Maka diambang ketakutan itu, Agung gegas lari keluar lalu melapor pada mbah Sardi yang kebetulan baru datang ke langgar.

”Innalillahi wainnailaihi roji’uun,” kata mbah Sardi.

Kabar meninggalnya mbah Sarikem secepat kilat tersebar ke penjuru kampung. Lalu malamnya tahlilan digelar di langgar. Dan sehari setelahnya keponakan mbah Sarikem yang tinggal di kota juga datang.

”Biarkan kami menjual ketiga kambing itu. Bukankah orang-orang yang tahlilan perlu diberi makan?” ujar ponakan mbah Sarikem yang paling besar kepada mbah Sardi malam itu.

”Urusan dana tak usah khawatir karena masyarakat sudah setuju untuk diambilkan dari khas desa.” Terang mbah Sardi yang diiyakan oleh beberapa tetangga dekat.

”Sepeninggal kami nanti tak ada yang mengurusi kambing-kambing itu. Biarkan kami menjualnya.” Kukuh kata ponakan mbah Sarikem yang kedua.

”Mbah Sarikem adalah budhe kami. Kami berhak menerima warisannya.” Ponakan mbah Sarikem yang ketiga menambahi.

Mbah Sardi hanya bisa terdiam menghadapi ketiga ponakan mbah Sarikem yang bersikukuh menjual kambing itu. Di dalam hatinya membenarkan bahwa yang berhak menerima warisan mbah Sarikem adalah mereka, tapi hati mbah Sardi juga agak kesal jika mengingat bahwa mereka bertiga dulu telah membuat hidup mbah Sarikem susah usai mereka minta bagian tanah.

Beberapa tetangga yang melihat hanya bisa mengelus dada. Rasa sedih sebagai tetangga akan kepergian mbah Sarikem saja masih belum hilang dari dada mereka, namun orang yang masih ada pertalian darah dengan mbah Sarikem malah sudah membicarakan warisan.

”Kalau itu yang kalian inginkan, aku tak bisa menghalangi.” Mbah Sardi menyerah.

Ketiga ponakan mbah Sarikem tersenyum penuh kemenangan.

”Mbah Sarikem ingin menjual kambing itu dan uangnya dibuat untuk menyantuni anak yatim. Kalian tak boleh menyentuh peninggalannya.”

Mata semua orang terarah pada sosok yang baru datang itu.

”Mbah Sarikem mengatakannya sendiri padaku. Tak ada yang berhak menyentuh kambing-kambing itu,” ucapnya lagi tegas.

Mbah Sardi dan beberapa tetangga tersenyum melihat sosok kecil yang berdiri di dekat pintu itu. Agung. (*)

*Cerpen sederhana ini pernah termuat di tabloid ApakabarPlus Hong Kong.

Powered by Blogger.
yesiarmand © . All Right Reserved. DESIGN BY Sadaf F K.