12/26/2020

Langit Berwarna Hitam


Langit berwarna hitam. Sepertinya hujan segera turun. Hari ini Getar tidak kerja. Ia meminta bibik tinggal di rumah dan ia sendiri yang menjemput Sakti. Sepuluh menit yang lalu sekolahan bubar. Kini Getar duduk di bangku kayu depan sekolahan.

Sakti tengah bermain kejar-kejaran dengan seorang anak gadis yang rambutnya dikuncir ekor kuda. Sakti gantian mengejar setelah bahunya berhasil disentuh oleh anak gadis itu. Mereka terus seperti itu. Berlarian. Bergantian menjadi pengejar dan dikejar. Getar tersenyum getir. Tingkah mereka seperti gambaran dirinya bersama Aluna di masa kecil.

Getar kecil suka sekali mengganggu Aluna yang sedang menggambar menggunakan cat cair.

”Ekor kuda…, Ekor kuda…,”

Setelah berhasil menarik rambut Aluna yang dikuncir ekor kuda, Getar menjulurkan lidah dan menempelkan kedua tangannya di telinga. Mengejek. Aluna marah. Gambar langit berwarna hitam yang hampir selesai ditinggalkan begitu saja. Lantas mengejar Getar yang lari ke taman belakang. Mereka kejar-kejaran hingga membuat pot tanaman mama bergeser dari tempatnya.

Mama marah mengetahui nasib pot tak di tempatnya. Sebagai hukuman, mereka harus membetulkan letak pot-pot itu, sekalian mencabuti rumput yang tumbuh. Setelah satu jam, mama memanggil mereka. Menyuruh cuci tangan dan masuk. Rupanya mama telah menyiapkan puding coklat susu saus vla vanila kesukaan mereka. Mama tidak benar-benar marah. Hukuman itu hanya pelajaran agar setelah dewasa nanti mereka bisa menjadi orang yang bertanggung jawab.

Tidak Aluna maupun Getar, mama akan memberi sangsi jika mereka bandel. Mama memperlakukan kedua anak seumuran itu tanpa pilih kasih. Meski bukan anaknya, mama menyayangi Aluna seperti sayangnya pada Getar. Aluna sering menginap dan tidur bersama mama jika ayahnya bertugas ke luar kota. Di rumahnya tak ada siapa-siapa. Ibu Aluna meninggal ketika melahirkan anak perempuan cerdas itu.

**
Dua puluh empat tahun usianya. Aluna sudah besar. Gadis itu tidak cantik, hanya sangat manis dengan lesung di kedua pipinya. Aluna juga mandiri dan pemberani. Tak lagi takut di rumah sendirian jika ayahnya pergi ke luar kota.

Bakat menggambar yang dimiliki sejak kecil mengantarkannya menjadi pelukis yang namanya diperbincangkan. Semua lukisannya laris diminati kolektor. Baru-baru ini ada yang terjual di luar negeri. Namun Aluna bukan seorang pelukis yang produktif. Ia hanya melukis ketika waktunya longgar. Dan waktu luang itu jarang ada, sebab hari-harinya habis bersama anak-anak yatim piatu. Ia relawan di sebuah yayasan sekaligus museum permainan anak di kota itu.

Tak ada yang lebih menggembirakan bagi seorang Aluna selain mendengar kabar sahabatnya akan pulang. Dua tahun setelah diterima bekerja di sebuah perusahaan terkemuka di Jakarta, Getar belum pernah kembali. Mama sangat rindu. Beruntung ada Aluna yang menghibur, yang tiap akhir pekan meluangkan waktu untuk menemani mama merawat tanaman dalam pot di taman belakang sembari mendengarkan mama bercerita.

Hari yang dinanti tiba. Sejak pagi Aluna membantu mama di dapur. Memasak makanan kesukaan Getar. Detik berjalan. Menit berganti. Jam berlalu. Dan bel berbunyi.

Dua tahun waktu yang singkat untuk membuat Getar tumbuh menjadi lelaki perkasa. Aroma kebahagiaan buncah memenuhi hati mama. Aluna juga bahagia. Ia terus tersenyum dan berusaha bersikap wajar walau ada sesuatu yang merongrong di sudut hatinya. Dadanya sesak melihat wanita yang berdiri di samping Getar dan dikenalkan sebagai kekasihnya.

Namanya Andini. Perempuan kota yang dari ujung kaki sampai ujung rambut telah disentuh kemodernisasian jaman. Perempuan pemilik bibir tipis bergincu merah merona. Rambutnya yang sebahu, lurus terurus dengan baik. Jari-jari tangannya panjang dengan cat merah disetiap kukunya. Tubuhnya tinggi langsing, tampak sekali hasil bentukan mesin-mesin gym.

**
”Wanita yang baik itu yang mau kotor-kotor dengan peralatan dapur.” Mama melirik Andini yang tiap selesai makan langsung meninggalkan meja dan duduk di depan televisi.

Sebenarnya mudah sekali mengambil hati mama yang penyayang itu. Hanya menjadi penurut dan bersedia sedikit saja membantu melakukan pekerjaan rumah, atau membantu merawat tanaman dalam pot, pasti mama akan menyayangi sepenuh hati. Namun Andini yang terbiasa dilayani pembantu dan suka berbuat semaunya, membuat mama enggan tersenyum padanya.

Watak dasarnya yang cuek membuat Andini tak merasa harus menghiraukan orang lain. Getar sangat mencintai Andini melebihi dirinya sendiri. Andini tahu itu. Getar rela berbuat apa saja yang ia minta. Bahkan beberapa kali ketika Andini mengancam putus, berkali-kali Getar meminta maaf dan memohon-mohon agar Andini tak melakukannya.

”Sebenarnya kamu disihir pakai apa sih sama perempuan kota itu, Tar?”

”Mama jangan ngomong gitu dong.”

”Kenapa anak mama bisa berubah seperti ini? Andini memang cantik. Tapi kecantikan saja tidak cukup, Tar. Mencari wanita juga harus yang memiliki budi pekerti yang baik. Tidak malas dan tidak memikirkan diri sendiri. Apa kamu mau jika punya anak nanti, anak kalian ditelantarkan di rumah, sedang waktu ibunya habis untuk jalan-jalan, pergi ke salon atau tempat gym? Wanita itu pengayom. Tempat pulang keluarganya.”

Ketenangan dan kebahagiaan yang dirindukan ketika tiba di rumah, justru melesat dari bayangannya. Getar serba salah. Mama sering menunjukkan sikap tak menyukai Andini. Dan perempuan kota itu tak peduli. Hingga puncak perang dingin itu terjadi pada suatu sore.

Sandal mama yang alasnya sudah tipis tak sengaja menginjak kulit pisang yang dibuang sembarangan oleh Andini. Mama terjengkang ke belakang. Beruntung tangan Aluna lebih sigap menahan badan mama. Namun kejadian yang tiba-tiba itu membuat Aluna kehilangan keseimbangan. Akhirnya mereka jatuh ke tanah dengan posisi badan mama di atas tubuh Aluna.

Mama baik-baik saja dan Aluna tidak terluka. Hanya saja malam saat hendak melukis, Aluna merasa sakit di pergelangan tangannya. Berkali-kali kuas yang dipegang jatuh. Tangannya seolah tak punya kekuatan untuk bergerak. Paginya ia memeriksakan ke rumah sakit karena mendapati memar di bagian bawah ibu jari. Ia shock. Dokter bilang tangannya mengalami patah tulang yang cukup serius.

Andini tak ingin terlibat lebih jauh. Ia memutuskan pulang ke Jakarta lebih dulu.

”Kini hidupnya tak secerah warna dalam lukisan-lukisannya. Ini semua gara-gara mama.”

”Semuanya kecelakaan. Aluna tidak marah. Mama jangan menyalahkan diri sendiri seperti itu dong. Dia lebih kuat dari yang mama pikirkan.”

”Bagaimanapun juga, melukis tak bisa dipisahkan darinya. Kamu belum pernah tahu saat tiba-tiba ia tertawa atau matanya menetes di depan papan putih kosong itu. Kuasnya bergerak mengikuti kemelut hati, bercerita tentang hari-harinya, tentang kerinduan pada ibu yang belum pernah dilihat. Aluna tetap seorang wanita yang lemah. Ia lebih rapuh dari yang kita lihat, Tar.”

”Mama tak pernah minta apa-apa, Tar. Tapi jika kali ini mama minta sekali saja, apa kamu bersedia memenuhi? Tidak apa-apa jika keberatan. Dan anggap mama tak pernah mengatakan ini.”

”Permintaan apa, Ma?” Hati Getar cemas.

**
Pernikahan itu terjadi. Hanya keluarga dekat yang diundang. Akadnya dilakukan di masjid. Syukuran di gelar di yayasan tempat Aluna menjadi relawan. Getar mengabulkan permintaan mama untuk menikahi Aluna. Sahabat kecilnya sangat mama inginkan menjadi menantu.

”Tanaman mama dalam pot pelan-pelan tumbuh dan sekarang sudah tinggi. Begitulah cinta, akan tumbuh perlahan-lahan, Tar.”

Getar memboyong Aluna ke Jakarta. Ia baru mengabari Andini tentang pernikahan itu satu minggu kemudian.

”Maafkan aku, Din. Maafin aku banget.”

Berpuluh-puluh kali kata maaf keluar dari mulut Getar. Andini marah. Menangis. Memukul-mukul dada Getar. Ia merasa sangat bersalah pada Andini. Seharusnya ia menuruti perkataan mama untuk segera memberitahu Andini setelah akad itu terucap.

”Tega banget kamu khianatin aku, Tar.”

Andini tak mau kehilangan Getar. Ia baru menyadari jika dirinya benar-benar mencintai Getar. Kantor mereka bersebelahan. Andini selalu menemui Getar tiap istirahat dan pulang kerja. Tak jarang meminta Getar menemaninya jalan-jalan. Laki-laki itu mengiyakan, sebab dalam hatinya masih menyimpan nama Andini.

Rasa bosan menyergap Aluna yang tinggal sendiri di apartemen. Tak ada kanvas putih yang bisa dicoret-coret. Tak ada tanaman dalam pot yang perlu dirawat. Dan tak ada anak yayasan yang keceriaannya bisa mengusir sepi. Aluna hanya menonton televisi, membaca buku dan menunggu Getar yang kadang dua hari sekali baru pulang. Hidupnya terasa gelap. Ia stres. Dokter melarangnya banyak memikirkan sesuatu, sebab hal itu tak baik buat kandungannya.

**
Langit berwarna hitam. Hujan sudah turun. Rintiknya jatuh di atas payung lebar yang menaungi tubuh anak dan bapak itu. Sakti tidur di gendongan tangan kiri Getar. Bocah lucu empat tahun itu tak terganggu suara hujan yang berisik. Pulas ia tidur. Sesekali kepalanya miring ke kanan dan menyebabkan lesung di pipinya terlihat jelas ketika Getar menoleh hendak membetulkan posisi kepala anaknya.

Hujan semakin deras. Butirannya besar-besar jatuh. Baju Getar bagian lengan basah oleh air yang baru diusap dari matanya yang panas. Lesung pipi Sakti mengingatkannya pada Aluna.

Empat tahun lalu Getar mendapat telpon dari rumah sakit ketika langit sudah gelap. Mobilnya segera dilajukan berbalik haluan dari arah jalan menuju hotel yang telah Andini sebutkan. Kandungan Aluna sangat lemah dan ia mengalami banyak pendarahan. Getar terlambat. Sakti lahir namun Aluna menyerah.

Seminggu setelah Aluna meninggal, mama memberikan lukisan-lukisan Aluna yang sebulan sebelumnya dititipkan pada mama. Semua lukisan itu bergambar tentang seorang laki-laki dan perempuan. Lukisan tentang anak laki-laki menarik rambut anak gadis yang dikuncir ekor kuda. Lukisan tentang anak laki-laki dan anak gadis tengah berlarian di taman belakang rumah. Di lukisan lain anak laki-laki dan perempuan itu sudah remaja memakai seragam biru putih. Ada pula yang berseragam abu-abu.

”Aluna menyukaimu sejak kecil, Tar.” Getar melihat lukisan tentang seorang laki-laki yang sudah dewasa bersama seorang perempuan cantik. Itu bukan perempuan yang sama dengan lukisan-lukisan sebelumnya.

Laki-laki itu tak bisa menyembunyikan hatinya yang hancur. Ia berjalan menuju kamar mandi. Mengunci pintu. Menyalakan kran air. Sesenggukan duduk di lantai sambil memeluk lukisan terakhir yang mama serahkan. Sebuah lukisan tentang langit berwarna hitam dan seorang anak perempuan kecil. Lukisan yang bercerita tentang rindu, sedih, sepi dan sunyi milik Aluna. (*)

* Cerpen sederhana ini terpilih menjadi juara 2 program Bilik Sastra RRI Voice of Indonesia
Yesi Armand Sha.

12/18/2020

Kopi dalam Cangkir Ungu





Kopi dalam cangkir ungu dan sepiring besar nasi goreng udang telah aku siapkan di meja makan. Aku juga sudah menyuruh mas Yas keluar dari kamarnya agar segera menandaskan sarapan kegemarannya itu sebelum dingin. Saat mengetuk pintu tadi, tak ada sahutan dari dalam. Lima menit menunggu tak ada suara langkah mendekati pintu, aku memutuskan kembali ke kamar tidur. Hanya ingin kujelaskan, sejak Gilang liburan di rumah Emma, kami tidur beda kamar. Aku menempati kamar kami, sedang Mas Yas tidur di kamar tamu.
 
Suara hujan di luar mengiringi tanganku memasukkan baju ke dalam koper besar berwarna ungu yang semalam kusiapkan. Pagi ini menjadi hari berpisah bagi kami. Tak ada alasan lagi untuk tinggal. Semua telah ditentukan sejak dua belas tahun lalu. Aku ingat bagaimana awal mula perpisahan ini dimulai.
 
Malam itu hujan deras di bulan Januari...
 
‘’Maafkan aku Aluna. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini.’’
 
‘’Kenapa?’’ Aku kaget sebab kukira rumah tangga kami baik-baik saja.
 
Mas Yas mengeluarkan selembar kertas yang telah dibubuhi tanda tangannya.
 
‘’Cerai?’’ Ada sesak yang tiba-tiba mengembang di dalam dada.
 
‘’Apakah selama ini Luna belum bisa menjadi istri yang baik?’’ Suaraku bergetar.
 
‘’Kamu sudah sangat baik, Luna. Justru aku yang tak pantas menerima kebaikan itu.’’
 
‘’Bukankah sudah semestinya sepasang suami istri saling berbagi kebaikan?’’
 
Aku lupa. Seharusnya saat itu aku sadar jika Mas Yas tak pernah menganggap aku sebagai wanitanya. Pernikahan kami tak didasari oleh cinta. Kebaikan-kebaikan Mas Yas tak lain  karena aku telah melahirkan  dan merawat Gilang, darah dagingnya.
 
‘’Viona mencariku.’’
 
Mendengar nama yang tak asing itu,  reflek membuatku mundur beberapa langkah. Tanpa sadar selembar surat yang berada di tangan kujatuhkan. Aku kehilangan kata-kata. Mendadak seluruh persendianku terasa ngilu.
                                                                           
**
 
Mungkin inilah yang dinamakan hidup tapi tak merasa hidup. Selama dua belas tahun aku seolah menjadi penghuni tetap sebuah ruangan di dalam penjara. Bukan fisikku yang dikurung dalam sel besi berhawa dingin itu, melainkan hati dan batinku yang dikungkung oleh rasa bersalah. Dan aku sepenuhnya sadar, mungkin itu yang dinamakan karma karena telah membalas kebaikan-kebaikan Aluna dengan air tuba.
 
Dinding pertahananku kala itu sudah tak mampu berdiri dengan kokoh. Dan akhirnya aku menuruti apa kata Viona. Aku mengatakan kejujuran pada Aluna karena bagaimanapun juga menyembunyikan hal itu lebih lama hanya akan membuat ia semakin tersakiti.
 
Raut Aluna pias karena melihat surat yang kubawa. Lalu wajah itu berubah pasi ketika aku menyebut nama Viona. Saat itu jika saja tanganku tak reflek menangkap kertas yang dipegangnya, sudah pasti surat cerai itu jatuh ke dalam panci berisi gulai kambing kesukaanku yang dimasakknya sebagai menu makan malam kami.
 
Tak pernah sebelumnya terbayangkan di benakku jika pembicaraan yang tak selesai malam itu menyisakan perih di hati Aluna. Berhari-hari perempuan berwajah panjang dengan hidung mungil itu lebih banyak diam. Tak terlihat lagi wajah riangnya seperti biasa yang membuat ramai rumah kami. Setelah mengurus Gilang, ia lebih suka menghabiskan waktu dengan memandangi jendela kaca yang menghadap ke kebun bunga mawar di depan rumah kami.
 
‘’Apakah Mas sudah memikirkannya dengan matang ?’’ Di hari ketujuh Aluna membuka suara.
 
Aku menoleh. Pandangan kami bertaut. Sejenak aku bisa melihat wajahnya serupa mawar layu yang  disirami hujan deras siang dan malam selama bulan Januari itu.
 
‘’Ya,’’ jawabku lirih.
 
‘’Tidak bisakah mencari jalan keluar selain perpisahan?’’
 
Aku menarik napas panjang. Mulutku seakan terkunci. Hanya suara TV di depan kami yang seolah-olah menjawab pertanyaan Aluna.
 
‘’Apakah tidak ada jalan lain selain perpisahan?’ Aluna mengulang pertanyaan.
 
‘’Jujur sudah lama sekali aku memikirkan ini, dan berpisah hanya satu-satunya jalan.’’
 
‘’Gilang masih terlalu kecil.  Ia masih membutuhkan sosok seorang ayah. Tolong tunggulah sampai ia besar. Setidaknya sampai lulus SMP.’’ Dalam hitungan detik kulihat mata besarnya yang telah berubah sipit kembali menjatuhkan butiran-butiran bening.
 
Melihat Aluna tergugu, aku jadi teringat ibu yang menangis, memohon agar gugatan cerai yang telah bapak ajukan ke pengadilan agama dicabut.
                                                                         
**
 
Aku sering mendengar tentang Viona dari cerita-cerita ibu mertua. Mungkin membiarkan Mas Yas pergi ke sisi perempuan itu akan membuatnya bahagia. Tapi aku tak bisa melakukannya. Aku bahkan juga tak peduli dengan kata-kata Emma yang menganggap aku sebagai perempuan bodoh.

‘’Mbak ini kok rela banget menanggung beban batin. Sudah jelas-jelas dia tak mencintai Mbak, kenapa masih mengharapkannya?’’ Emma geregetan ketika suatu hari aku ngobrol dengannya.
 
‘’Kadang cinta bukan melulu tentang hal yang bahagia. Tapi cinta juga tentang pengorbanan, ketulusan dan keikhlasan,’’ Aku menghela napas sejenak,’’Aku selalu berdoa agar Tuhan menurunkan keajaiban.’’
 
‘’Keajaiban?’’ Emma tertawa hambar,’’Mbak, diluar sana masih ada Mas Adam, Mas Ridho dan Mas Arif yang menunggu Mbak. Mereka lebih baik dari Mas Yas. Mbak berhak bahagia dengan salah satu dari mereka. Untuk apa mempertahankan pernikahan yang sudah pasti akan berakhir?’’
 
Entah sudah berapa puluh kali kalimat serupa mengalir dari mulut Emma. Kadang aku sampai kasihan melihat adik yang menjadi satu-satunya tempatku cerita itu marah-marah karena nasehatnya tak pernah kupakai. Aku maklum dengan kemarahannya. Sebagai sesama wanita, aku yakin dia juga ingin melihat aku bahagia, dicintai lelakiku.

‘’Aku pikir menuruti cemburu dan sakit hati lalu memilih berpisah bukan keputusan yang dewasa. Tiga atau empat tahun setelah cerai mungkin akan menyembuhkan lukaku, tapi bagaimana dengan luka Gilang? Aku tahu orang dewasa berhak menentukan pilihannya sendiri, tapi perceraian bukan semata-mata urusan dua orang dewasa. Kukira tidak adil jika anak yang tak bersalah harus menjadi korbannya. Aku tidak ingin ada anak yang menangis karena perpisahan orangtuanya.’’
 
‘’Tapi pernikahan itu sudah pasti akan berakhir. Bukankah sekarang atau nanti akan sama saja?’’
 
‘’Walau bagaimanapun aku berharap perpisahan tak pernah ada. Jikalaupun terjadi, kurasa Gilang  pelan-pelan akan mengerti. Waktu akan membawanya menjadi dewasa.’’
                                                                       
**
 
Nasi goreng udang di atas piring putih besar sudah dingin. Kopi yang aromanya telah hilang pun tak membangkitkan selera. Entah kenapa sejak kemarin aku tak memiliki nafsu makan. Apapun yang kumasukkan ke dalam mulut rasanya hambar.
 
Jemariku memainkan pegangan cangkir. Aku yakin sejak hari pertama hingga saat ini Aluna tak pernah tahu asal muasal cangkir ungu yang tiap pagi ia gunakan untuk menyeduh kopi buatku. Cangkir bermotif bunga besar-besar itu pilihan Viona yang dibelinya berpasangan dengan milikku. Kata Viona, warna ungu memiliki filosofi yang sangat dalam. Orang yang menyukai warna ungu artinya tidak pernah ragu-ragu menghadapi masa depan.
 
‘’Anak laki-laki harus kuat.’’ Kata Viona ketika kami pertama kali bertemu.
 
‘’Kesedihan itu tak pernah ada. Manusia sendirilah yang menciptakannya. Memilih gelisah, bersedih hingga membuat segala sesuatu yang harusnya mudah menjadi runyam.’’
 
Aku takjub dengan perkataan-perkataan Viona yang seperti orang dewasa. Perlahan aku mulai belajar berpikir sepertinya, membuang kesedihan dan menciptakan hari-hari bahagia. Viona yang ceria, tangguh dan pantang menangis  laksana obat mujarab yang menyembuhkan lukaku pasca perceraian ibu dan bapak. Viona selalu ada. Ia menghibur, tersenyum dan membuat hariku selalu hangat.
 
Viona bagai malaikat. Ia tak memiliki cacat. Bahkan setelah membuat hatiku hancur berkeping-keping lantaran suatu hari ia pergi dengan laki-laki yang baru dikenalnya.
 
‘’Melihatnya seperti melihat diriku dalam sosok lain. Maafkan aku Yas. Kukira diakhiri sekarang lebih baik daripada nanti akan membuat kita sama-sama tersakiti.’’

Viona meninggalkan aku dan rencana-rencana yang telah kami susun untuk menikah. Lalu setelah bertahun-tahun pergi, ia kembali saat aku sudah menikah dengan  Aluna dan kami dikaruniai Gilang. Viona mencariku. Ia menangis dan aku tak tega melihat air mata orang yang sangat kukasihi itu jatuh.
 
Tiiiiin Tiiinn...!!
 
Suara taksi yang berhenti di depan rumah membuyarkan lamunanku. Tak berapa lama Aluna keluar kamar membawa kopernya.
 
‘’Luna pulang, Mas.’’ Ia mendekat. Aku pasrah ketika tanganku diraih lalu ditempelkan di dahinya.
 
‘’Di  kulkas ada gulai kambing dan soto ayam, Mas hanya perlu memanasi saja nanti.’’
 
Aku tak pernah paham apa yang dipikirkan Aluna. Kenapa ia masih selalu saja bersikap baik. Selama dua belas tahun belum sekalipun aku melihat ia bermuka masam. Selama dua belas tahun itu Aluna selalu merawat rumah dengan baik. Menghangatkan meja makan kami dengan masakannya yang enak. Menyiapkan baju bersih untukku, dan setiap pagi mengantarkan aku menuju pintu, lantas menempelkan punggung tanganku di dahinya. Aluna selalu melepas aku berangkat kerja dengan senyum lembut yang terbingkai dari wajahnya yang ramah, pun ketika aku pulang.

Kebaikan-kebaikannya yang tak pernah berhenti membuat aku sering merasa bersalah. Seharusnya seperti pagi ini, ia bisa saja meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan dan tak usah memikirkan aku makan apa. Aluna bahkan berhak marah atas semua sikap pengecut yang telah kulakukan padanya.
 
‘’Nanti kalau ada apa-apa, jangan sungkan telpon Luna.’’
 
‘’Luna.’’
 
Ia berhenti. Menoleh.
 
‘’Jika saja kamu lebih dulu hadir dalah hidupku, pasti aku akan mencintaimu selamanya. Maafkan aku.’’ Tiba-tiba kalimat yang telah lama menghuni lubuk hatiku keluar begitu saja.
 
‘’Tidak ada yang salah Mas. Cinta memang tidak bisa dipaksa, tapi berada di sisi Mas seperti selama ini sudah cukup membuat Luna bahagia. Belum pernah sekalipun Luna merasakan kebahagiaan semacam ini,’’ Aluna berhenti sejenak,’’Juga terimakasih karena Mas sudah bersedia mengabulkan permohonan Luna untuk menundanya sampai hari ini. Andai perpisahan itu terjadi dua belas tahun lalu, Luna pasti tak bisa memafkan diri Luna sendiri jika dikemudian hari Gilang depresi atau terjadi sesuatu dengannya.’’ Perkataan Aluna seolah membawa ingatanku terbang kembali ke masa kecil.
 
‘’Tapi bagaimana kita harus menjelaskan pada Gilang tentang hari ini?’’
 
‘’Gilang sudah besar, dia akan mengerti. Luna pulang, Mas.’’ Aluna melangkah menjauh, meyisakan suara roda kopernya yang beradu dengan lantai. Semakin jauh, suara itu terdengar semakin keras menyusup ke dalam lubang telingaku, lalu menjalar ke seluruh syaraf-syaraf di kepalaku dan berhenti tepat di dada.
 
Aku masih bergumul dengan rasa yang tak kuketahui apa namanya itu. Rasa sedih dan kehilangan seolah bercampur menjadi satu lantas berputar-putar di atas kepalaku. Aku bingung, entah apa yang harus kuperbuat dan pada akhirnya yang kulihat hanya hujan yang menyambut Aluna begitu ia keluar dari pagar. Lalu sopir taksi turun membantunya membawakan koper dan menaruh di bagasi belakang. Tak berapa lama terdengar suara pintu mobil ditutup disusul  deru kendaraan itu.
 
                                                                         
**
 
‘’Luna... Luna...’’
 
Taksi yang dinaiki Aluna sudah sampai di belokan kompleks perumahan kami. Aku berlari menembus hujan mengejar mobil biru muda itu. Napasku tersenggal-senggal. Entah Aluna yang menoleh ke belakang atau sopir itu yang melihatku berlari dari kaca spion, yang jelas mobil itu bergerak memelan lantas berhenti di pinggir jalan.
 
‘’Mas Yas.’’ Aluna turun dari mobil. Melebarkan payung. Rautnya menyiratkan tanya.
 
Aku menarik tubuh Aluna ke pelukanku.  Aku baru sadar itu adalah pelukan pertama kami setelah entah berapa tahun kami tak melakukannya. Perihku semakin menjalari hati saat aku menyadari tubuh Aluna semakin kurus. Baju kebesaran yang dikenakannya hanya membalut tulang belulang. Pipinya tyrus dengan mata yang cekung. 
 
‘’Maafkan aku Luna. Maafkan.’’ Mataku memanas. Sesenggukan aku di pundaknya.
 
‘’Mas kenapa?’’
 
Aluna masih bingung melihat tingkahku. Ia tidak tahu jika kopi buatannya telah  kutuang ke dalam wastafel dan cangkir ungu sudah kubuang ke dalam tempat sampah. Kisah lalu memang manis untuk diulang, tapi aku percaya jika Tuhan selalu menghadirkan orang yang tepat untuk berada di sisi kita. Dan, perempun setia dan  berhati lembut itulah yang Tuhan kirimkan untukku. Aluna, hatiku mantap memilihnya.(*)


*Yesi Armand Sha




< > Home
Powered by Blogger.
yesiarmand © . All Right Reserved. DESIGN BY Sadaf F K.