Untuk temanku yang sangat kurindukan...
Kata orang-orang, musim penghujan telah berlalu. Kini desa kami hari-harinya dihujani angin kering yang membuat pepohonan meranggas. Debu beterbangan dimana-mana. Menempel di permukaan daun yang kekuningan, di tiang listrik, di tembok rumah dan di kulit anak-anak yang saat ini sedang bermain tekongan.
Dua hari sejak kepulanganku dari Hong Kong, tidur siangku selalu dibangunkan oleh suara ramai anak-anak itu. Dalam keadaan antara sadar dan belum, sayup-sayup kudengar mereka meneriakkan kata ‘Tekong’ diikuti oleh suara ketepak pasang sandal. Ketika gaduh telah berganti sunyi seperti saat ini, aku membuka korden jendela kamar dan kulihat seorang bocah laki-laki berusia kisaran delapan tahun sedang menumpuk wingko di tengah bundaran. Itu adalah bocah yang sama yang kemarin kulihat bertugas sebagai pemain penjaga. Sepertinya permainan kemarin belum selesai dan dilanjut hari ini.
Saat semua wingko telah tertata meninggi, bocah itu berjalan dengan menajamkan penglihatannya untuk mencari pemain lain yang bersembunyi. Aku tak bisa menahan tawa ketika melihat ia berjalan menuju belakang mushola, tapi dari arah timur seorang bocah perempuan berambut pendek lari sangat cepat menuju bundaran.
”Tekong!” Pekik bocah perempuan itu seraya menyepak wingko.
Usai membuat wingko-wingko berantakan, bocah perempuan lari ke arah dari mana ia keluar, lalu tubuhnya hilang ditelan pagar depan mushola. Mengetahui hal itu, bocah laki-laki tadi kembali mendekati bundaran. Tangannya sigap memunguti wingko sedang mulutnya sibuk mengomel. Sepertinya ia tengah menahan kesal.
Melihat anak-anak itu bermain, membuat ingatanku berkeliaran menembus dinding waktu dan berhenti pada satu frame kehidupan di beberapa tahun silam. Aku dulu pernah seperti mereka. Pada jam-jam seperti ini membuat kegaduhan di tempat itu, di tanah cukup lebar yang memisahkan rumahku dengan mushola. Aku dan teman-teman bermain tekongan sembari menunggu mbah Sarto, guru yang mengajari kami mengaji datang.
Saat bermain tekongan aku suka sekali bersembunyi dengan Rahma. Tetangga dua rumah yang umurnya sebaya denganku. Rahma berbadan tinggi dan kurus. Karena memiliki kaki yang jenjang, membuat ia menjadi anak yang larinya paling cepat di antara kami.
”Ayo. Cepat, Tan!”Seru Rahma suatu kali seraya menarik tanganku.
Tarikan tangannya itu membuat kakiku yang pendek berusaha lari mengimbangi langkahnya yang panjang. Rahma tak mempedulikan aku yang lari keponthalan. Tangannya terus saja menarik tanganku dengan kuat dan membuatku sangat kelelahan. Tapi meski napasku tinggal satu dua, di dalam dadaku sana sesak oleh rasa bahagia karena kami berhasil sembunyi sebelum pemain penjaga sempurna menata semua wingko.
”Enak ya jadi kamu, kalau sembunyi selalu paling cepat,” pelan ucapku pada Rahma.
”Aku justru ingin seperti kamu, kalau sembunyi begini nggak susah.” Rahma terlihat sedikit kesulitan melipat kakinya. Maklum kami sembunyi di bawah palungan kandang kambing yang sekarang dipakai untuk menumpuk kayu kering.
Cresshh…
Kami saling berpandangan. Itu suara daun kering yang diinjak.
Creshh Creshh…
Rahma menempelkan jari telunjuknya di atas bibir. Seketika hening, kami mematung. Hanya suara napas yang mewakili kekhawatiran perasaan kami saja yang terdengar.
Creshh Creshh Creshh…
Dadaku berdebar-debar. Rahma menyentuh pundakku lalu mengangguk. Raut mimiknya yang serius itu menyiratkan pesan agar aku bersikap tenang dan memercayakan semua padanya. Rahma lantas memasang kuda-kuda, menyiapkan diri untuk lari jika keberadaan kami benar telah tercium oleh pemain penjaga.
”Rahma… Intan…”
Benar, itu suara pemain penjaga.
”Serbu…!” Rahma berteriak kencang seolah dirinya adalah komandan perang yang sedang memberi aba-aba pada pasukannya. Nada suaranya penuh semangat dan terdengar gembira sekali. Dari jauh aku melihatnya dengan tatapan geli. Hal yang paling disukai Rahma adalah saat-saat seperti itu. Saat dimana ia berlomba lari adu cepat dengan pemain lain. Tapi walau seberapa cepat pemain lain berlari, pada akhirnya Rahma tak terkalahkan. Rahma berhasil membuat wingko di dalam bundaran berserakan.
”Hore!”Beberapa pemain lain yang telah tertangkap bersorak senang, lalu mereka lari berpencar ke berbagai penjuru untuk sembunyi lagi. Aturan permainan tekongan memang seperti itu. Dimana pemain lain yang sudah tertangkap bisa bebas dan sembunyi lagi asal ada pemain lain yang berhasil menyepak wingko mendahului penjaga.
Bukan hanya bagiku, tapi bagi teman-teman lainnya, Rahma juga serupa payung yang menjaga mereka dari tetesan air hujan. Dimana ada Rahma, tempat itu seolah disulap serupa lingkaran pelindung.
Karena bersama Rahma selalu aman, maka aku tak pernah mau pisah dengannya. Rahma juga tak keberatan jika aku mengekorinya, tapi sifatnya yang penyayang itu akan berubah menjadi galak jika ia diikuti oleh anak lain.
”Sembunyi sama anak lain rawan berisik. Cepat ditemukan,” jawab Rahma suatu kali menanggapi pertanyaanku.
”Tapi kenapa kamu tak marah jika aku yang ikut?” tanyaku lagi.
”Entah. Aku hanya merasa nyaman saja denganmu.”
**
Rahma bukan hanya jago lari dan pintar memilih tempat sembunyi, tapi ia juga suka sekali mengusili pemain penjaga. Suatu kali saat semua pemain sudah melemparkan batu, lalu pemain yang batunya berada paling jauh dengan bundaran terpilih menjadi penjaga, Rahma gegas menarik tanganku. Aku keponthalan mengikutinya lari ke barat.
Kami sudah melewati belakang mushola. Kukira ia akan mengajakku sembunyi di kebun kopi. Aku sudah membayangkan kami akan bergelantungan di atas dahan pohon pemilik buah kecil-kecil itu. Tapi setibanya di sana ternyata Rahma tak menunjukkan sinyal hendak berhenti. Kami terus lari melewati kebon jagung, menuruni embong trabasan dengan beberapa undag-undag, menyeberangi kalen kecil yang airnya setinggi mata kaki, dan akhirnya berhenti di sebuah petak sawah.
Di petak yang penuh dengan tanaman kacang lanjar itu Rahma berjalan pelan sambil memeriksa beberapa pohon kacang. Tak lama berjalan, ia lalu berhenti.
”Sini Tan.’”Teriaknya memanggilku.
Aku mendekat.
”Sudah banyak yang masak.”
Mataku berbinar kala melihat genggaman tangan Rahma penuh dengan buah ciplukan berwarna kuning. Rahma lalu memindahkan buah itu ke tanganku. Rahma tahu aku suka sekali makan ciplukan. Maka sore itu ia lebih banyak menguliti buah itu buatku. Lama di sawah, kami sibuk berburu buah ciplukan dari pohon satu ke pohon lainnya. Bahkan saking asyiknya, kami sampai lupa bahwa matahari semakin miring ke barat dan mbah Sarto sudah datang ke mushola.
Keusilan Rahma bukan hanya itu saja. Suatu hari kami pernah membuat geger mbah Sarto dan teman-teman. Mereka mengira kami raib entah kemana karena sampai maghrib belum juga kembali. Mereka mencari kami ke mana-mana, ke seluruh desa, padahal kami dekat sekali. Aku dan Rahma ketiduran di dalam kamarku.
Awalnya kami main tekongan seperti biasa. Lalu Rahma mendesak untuk bersembunyi di dalam rumahku. Terang saja aku menolak, karena hal itu berarti melanggar perjanjian dengan teman-teman.
”Ada hal penting yang ingin kutanyakan padamu,” tukas Rahma cepat.
Aku tak berdaya menolak permintaanya. Maka ketika tak ada yang melihat, kami gegas membelokkan kaki menuju belakang rumah. Aku mengambil kunci lalu membuka pintu.
”Ingin tanya apa?” tanyaku saat kami sudah berada di dalam.
”Aku minum dulu.” Rahma menyambar kendi di atas meja lalu menuangkan air ke dalam gelas. Bunyi tegukan seketika terdengar begitu air dingin itu membasahi tenggorokannya.
”Ajari aku tugas matematika yang tadi diterangkan bu guru. Aku tadi pagi kan telat masuk kelas.”
Aku mengajak Rahma masuk ke kamar. Aku mengeluarkan buku matematika dari dalam ransel lalu menerangkan bagian yang tak ia pahami.
Rahma seorang pembelajar yang cepat. Sekali saja kuterangkan, ia langsung paham. Rahma juga seorang yang memiliki semangat belajar tinggi. Buktinya, usai belajar matematika, ia mengajakku belajar mata pelajaran lain.
”Kenapa kamu suka sekali belajar?” tanyaku penasaran.
”Kata emak, kalau rajin belajar nanti akan jadi orang pintar.”
”Kalau sudah pintar mau ngapain?” tanyaku lagi.
”Aku ingin menjadi dokter agar bisa menyembuhkan orang sakit. Aku tak ingin ada anak yang sedih karena kehilangan ibu atau bapaknya.” Suara Rahma bergetar.
Mendadak aku menyesal telah mengajukan pertanyaan itu. Rahma pasti sedih karena ia teringat peristiwa tiga tahun sebelumnya. Kala itu desa kami diserang wabah demam berdarah. Banyak nyawa warga yang tak tertolong. Penduduk di desa kami mayoritas kurang mampu. Tersebab hal itulah, ketiadaan dana menjadi kendala untuk mendapat penanganan medis yang memadai. Dan satu diantara yang meninggal itu adalah bapak Rahma.
Setelah bapak Rahma tiada, emaknya yang mengambil alih tugas sebagai tulang punggung. Emaknya yang berbadan ringkih dan sering sakit-sakitan itu bekerja apa saja. Berangkat pagi dan pulang jelang maghrib. Untuk itulah kenapa Rahma sering telat pergi ke sekolah, karena ia harus menyiapkan sarapan dan mengurusi kedua adik kembarnya yang masih TK.
**
Masa menyenangkan bersama karib memang paling indah. Tapi tak selamanya kita bisa selalu menghabiskan hari bersama orang yang kehadirannya kita harapkan, sebab waktu lebih berwenang membentang jarak. Dan jarak itu aku rasakan ketika aku dan Rahma sama-sama baru lulus SD.
Hari itu adalah hari wisuda kelulusan. Bibirku selalu membentuk sabit karena hari itu aku berhasil meraih juara satu. Aku juga bahagia karena usaha Rahma yang keras untuk belajar tak sia-sia. Ia meraih juara dua. Hanya saja sayangnya hari itu Rahma tak bisa datang ke sekolah sebab menunggui emaknya yang sedang sakit batuk dan mengeluarkan darah.
Aku membawakan pulang piala milik Rahma. Setibanya di rumahnya, aku tak menemukan wajah ceria Rahma seperti biasa. Carut itu masih kulihat bahkan setelah aku menyerahkan piala padanya.
”Besok aku akan ke Jakarta, Tan. Penyakit emak makin parah, aku harus bekerja untuk mencari biaya pengobatannya.” Suaranya parau.
”Kamu nggak melanjutkan sekolah?”tanyaku kaget.
”Saat ini aku tak punya pilihan lain. Emak lebih penting dari segalanya. Lagi pula jika emak tidak kerja, tak ada uang untuk makan juga untuk biaya sekolah kedua adikku. Biarlah satu yang mengalah, asal tiga lainnya terselamatkan.” Genangan bening yang lama menghuni sudut matanya jatuh. Aku hanya bisa memeluknya dengan erat saat ia menangis sesenggukan. Aku bisa merasakan betapa menyakitkannya memendam cita-citanya untuk sekolah tinggi.
Rahma benar-benar pergi ke Jakarta dan bekerja sebagai penata laksana rumah tangga. Seminggu tanpa Rahma, aku sering menangis jika teringat saat-saat manis bersamanya. Sebulan kemudian, aku masih sering seperti itu. Lalu hari semakin bertambah dan aku mulai sibuk dengan jam sekolah yang padat, aku mulai terbiasa tanpanya.
Setengah tahun berjalan. Suatu hari datang sebuah surat atas namaku. Itu surat dari Jakarta dan di ampolnya tertulis pengirim dengan nama Rahma. Dalam surat itu Rahma bercerita, bahwa di Jakarta sana ia mempunyai majikan yang baik. Pekerjaan Rahma tidak begitu berat. Jika semua pekerjaan telah selesai, Rahma diijinkan untuk istirahat lebih awal. Rahma bahkan diijinkan untuk membaca buku yang ada di perpustakaan pribadi milik majikannya. Aku lega dan aku selalu percaya bahwa Tuhan memudahkan jalan seorang anak yang ingin membahagiakan keluarganya. Membaca goresan tulisan itu, aku merasakan kebahagiaan seperti yang dirasakan Rahma.
Sebulan sekali kami saling bertukar surat. Aku menceritakan sekolahku yang super padat dengan pelajaran yang semakin sulit. Rahma menasehatiku untuk tak menyerah. Ia mengingatkan bahwa diluar sana banyak anak yang ingin sekolah tapi tak punya biaya, maka dari itu aku tak boleh menyerah dan harus terus semangat belajar. Lewat lembaran surat itu, aku merasa jarak tak menjadi penghalang pertemanan kami. Aku merasa Rahma seolah-olah sedang tak berada di belahan bumi lain. Rahma terasa dekat.
Purnama demi purnama berlalu. Tahun pun berganti dan itu membuat kami menjadi sosok yang bukan anak-anak lagi. Aku dan Rahma masih berkirim surat seperti biasa. Tapi di suratku di bulan itu, aku mengatakan bahwa mungkin itu terakhir kalinya aku mengirim surat untuknya. Aku sudah mengubur niat masuk perguruan tinggi dan memutuskan untuk bekerja ke Hong Kong, agar bisa membantu melunasi hutang bapak dikarenakan usahanya bangkrut. Mengubur mimpi masuk banku kuliah memang membuat sedih, tapi aku belajar ikhlas dari Rahma seperti saat ia bekerja ke Jakarta dan mengubur impiannya untuk sekolah.
Maka setelah masuk ke penampungan, aku berangkat ke negeri beton. Aku benar-benar tak berkirim surat padanya lagi dikarenakan ongkos kirim yang mahal. Lama aku tak mendengar kabar tentangnya. Tapi di suatu hari ketika aku menelpon keluarga, aku mendapat kabar yang membuat hatiku terasa dikerat seiris demi seiris.
**
Kini anak-anak di desa kami masih sering bermain tekongan sembari menunggu mbah Sarto yang umurnya semakin senja itu datang. Anak-anak itu juga membuat gaduh dan beberapa keributan kecil. Mereka sering bersembunyi di bawah palungan kandang kambing, di pohon kopi dan di belakang rumahku. Mereka melakukannya seperti masa kecilku dulu. Tapi kini aku tak bisa menemukan sosok yang selalu menarik tanganku. Aku tak bisa menemukan Rahma dan tak bisa memanggil namanya lagi. Hari di saat aku menelpon keluarga itu, aku mendapat kabar bahwa kereta yang membawa Rahma pulang dari Jakarta mengalami kecelakaan dan Rahma meninggal hari itu juga. Sejak saat itu semua tentang Rahma menjelma kenangan, dan kenangan tentangnya akan selalu indah melekat di hati. Aku selalu berdoa semoga ia mendapat kebahagiaan dalam tidurnya sana. (*)
* Juara 1 lomba cerpen FSMI FLP-HK
Yesi Armand Sha
No comments:
Post a Comment